Isu Hukum
Senin, 21 Januari 2013
Narkotika dan Tes Urine Di Perguruan Tinggi
OLEH: YUSRIZAL, S.H. M.H
Badan Narkotika Nasional (BNN) mengusulkan agar setiap
pelajar atau calon mahasiswa yang akan mengikuti Seleksi Nasional Masuk
Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) untuk dapat melakukan tes urine sebagai
sebagai salah satu syarat masuk perguruan tinggi, usulan ini mendapat dukungan
dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Mohammad Nuh agar tes urine dapat
dilakukan di setiap perguruan tinggi untuk mengantisipasi pengaruh dan dampak narkotika
di lingkungan kampus. Ia menilai bahwa calon mahasiswa bukan hanya harus
pintar, akan tetapi didukung oleh akhlak yang baik (Serambi Indonesia Online,
Jumat 18 Mei 2011).
Upaya
pemerintah dalam meletakkan landasan yuridis mengenai narkotika seperti yang
tercantum dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 2009 Tentang narkotika merupakan
sikap reaktif terhadap penanggulangan narkotika, sebagai akibat dari
meningkatnya kejahatan yang berkaitan dengan narkotika. Kompleksitas
permasalahan peredaran dan penyalahgunaan narkotika dilingkungan kampus sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara
lain, coba-coba, merasa ingin dihargai dikelompoknya, motif ekonomi, sikap
apatis masyarakat (mahasiswa) dan kebiasaan penggunaan ganja sebagai penyedap
makanan dikalangan masyarakat Aceh. Hal inilah yang mengakibatkan kejahatan narkotika
semakin subur dan cenderung mendapat tempat dimasyarakat. (Moh. Hatta: 2010).
Kontrol Sosial versus Narkotika
Pencegahan
dan penanggulangan narkotika tidak hanya bisa dihadapi dengan ketentuan hukum
positif semata, akan tetapi harus dilihat bagaimana kearifan lokal budaya
setempat dalam mengatasi permasalahan tersebut. Hal inilah yang perlu digali
untuk memantapkan penegakan hukum terhadap narkotika. Tujuannya antara lain
agar penerapan hukum positif mendapat apresiasi positif bagi masyarakat. Peran
serta segenap komponen masyarakat terhadap penanggulangan narkotika sangat
dibutuhkan sebagai upaya perlindungan sosial dan kemanusiaan dalam
pemberantasan narkotika. Sebagaimana
disebutkan di dalam Undang-undang narkotika Pasal 106 bahwa: Hak
masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan
peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika diwujudkan dalam bentuk:
a.
Mencari,
memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana
narkotika dan prekursor narkotika;
b.
Memperoleh
pelayanan dalam mencari, memperoleh, dan memberikan informasi tentang adanya
dugaan telah terjadi tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika kepada
penegak hukum atau BNN yang menangani perkara tindak pidana narkotika dan prekursor
narkotika;
c.
Menyampaikan
saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada penegak hukum atau BNN yang
menangani perkara tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika;
d.
Memperoleh
jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan kepada penegak hukum
atau BNN;
e.
Memperoleh
perlindungan hukum pada saat yang bersangkutan melaksanakan haknya atau diminta
hadir dalam proses peradilan.
Persamaan
persepsi dalam pencegahan tersebut merupakan keniscayaan, karena selama ini
belum ada suatu persamaan pemikiran untuk menentukan suatu realitas legal dan
illegal yang berkaitan narkotika, salah
satu cara yang dapat ditempuh adalah adanya upaya kontrol sosial dari
masyarakat. Hal ini tidak mudah mengingat belum adanya persamaan kesepakatan
dalam penilaian mengenai narkotika. Sebagian kalangan pada masyarakat Aceh,
mengkonsumsi ganja bukan merupakan
perbuatan kriminal, dengan anggapan bahwa penggunaannya belum pada tahap yang memabukkan
(melakukan perbuatan-perbuatan tercela diluar kendali). Oleh sebab itu
dibutuhkan suatu kebijakan yang berbasis sosial dan kemasyarakatan dalam
penanggulangannya.
Serangkaian kebijakan dan penyuluhan mengenai peredaran dan
penanggulangan narkotika seoptimal mungkin dilaksanakan sebagaimana Gubernur
Aceh yang diwakili oleh Sekdaprov T. Setia Budi dalam membuka sosialisasi advokasi Implementasi Inpres Nomor 12 tahun
2011 Tentang Pelaksanaan Kebijakan dan Strategi Nasional Pencegahan dan
Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika (P4GN) berkerjasama
dengan Badan Narkotika (BNN) Provinsi Aceh, yang merupakan salah satu upaya
serius untuk menyelamatkan generasi bangsa, yang
diselenggarakan Badan Narkotika Nasional (BNN) Provinsi Aceh mengatakan,
sesuai data dari pihak kepolisian, peredaran narkotika di Aceh kini sudah dalam
batas meresahkan, karena berada di peringkat 8 secara nasional. Tingginya
peredaran narkotika dan obat-obatan terlarang di Aceh, karena jaringan
pemasoknya sudah menyasar hampir ke semua kelompok masyarakat. Seperti kelompok
pelajar, mahasiswa/kampus, orang tua, bahkan di kalangan birokrat. Data yang
ada juga mengungkapkan, 52 sampai 75 persen penghuni Lembaga Pemasyarakatan di
Aceh adalah terpidana kasus narkotika. (Tribun Jakarta Edisi Petang, 19 Mei
2012).
Harus diakui bahwa peredaran narkotika
merupakan musuh bersama, namun ada hal yang menarik dari ide tes urine untuk
calon mahasiswa sebagai langkah awal pencegahan dan penanggulangan narkotika di
lingkungan kampus. Sudah sewajarnya kampus, apabila menerapkan kebijakan tes
urine bagi calon mahasiswa dan sangat tepat pula apabila tes urine juga
dilakukan untuk dosen dilingkungan perguruan tinggi. Menurut hemat penulis tes urine ini juga
penting dilakukan oleh setiap tenaga pendidik dan kependidikan yang masih aktif
diperguruan tinggi. Tes urine ini dapat dilakukan secara berkala, upaya ini sebagai
bentuk pencegahan dan pengendalian narkotika dikalangan kampus.
Sudah saatnya kebijakan tes urine dapat
dilaksanakan dengan baik, maka perguruan tinggi selain mendapatkan mahasiswa
yang bebas narkotika juga dapat meminimalisir keberadaan narkotika dikampus.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa keberadaan ganja untuk provinsi Aceh sangat
luar biasa banyaknya, pihak kampus harus ada upaya prevensi dan represif
terhadap kejahatan dan pelanggaran yang berkaitan dengan narkotika. Perguruan
tinggi dalam mencegah dan menanggulangi tindak pidana narkotika harus berperan
aktif sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada masyarakat. Simbolisasi kampus
sebagai menara gading sudah selayaknya dihilangkan dengan berbagai upaya ekstra
dalam bentuk penyuluhan hukum dan bimbingan melalui mahasiswa yang melakukan
kuliah kerja nyata (KKN). Sehingga angka gelap kejahatan (the dark number of crime) narkotika dapat terawasi dengan baik.
Esmi Warassih (2005), mengatakan
bahwa penegakan hukum terhadap narkotika akan berjalan baik apabila kultur
hukum masyarakat juga baik. Kultur hukum berfungsi untuk menjembatani sistem
hukum dengan tingkah laku masyarakatnya. Seseorang menggunakan atau tidak menggunakan,
dan patuh antara tidak patuh terhadap hukum sangat ditentukan oleh nilai-nilai
yang dihayati oleh masyarakatnya. Oleh sebab itu sudah saatnya kontrol sosial
dan peran perguruan tinggi mengenai keberadaan narkotika ditengah-tengah
masyarakat mendapat perhatian dan tanggung jawab bersama demi kehidupan
generasi yang akan datang lebih baik.
Akhirnya pelaksanaan tes urine
dilingkungan pendidikan tinggi dapat dilakukan, baik secara teknis pelaksanaannya
dan psikologis (sadar hukum) setiap insan akademik harus mendukung kebijakan
ini, sehingga Provinsi Aceh terbebas dari narkoba. Semoga..
Perkembangan Kejahatan dan Pelanggaran Ditengah Penerapan Syariat Islam di Provinsi Aceh
oleh: Yusrizal, S.H., M.H.
A. Pendahuluan
Pada
saat ini kejahatan dan pelanggaran bukanlah sesuatu yang jarang terjadi, bahkan
sebaliknya kejahatan tampak begitu mudah kita lihat dan kita alami dalam
kehidupan sehari-hari. kejahatan sudah menjadi hal biasa mewarnai kehidupan
manusia. Yang mengkhawatirkan, apabila kejahatan tidak segera ditanggulangi,
maka lambat laun kejahatan dan pelangaran tersebut tidak dapat diidentifikasi
lagi sebagai kejahatan dan pelanggaran, melainkan sudah dianggap budaya atau
tradisi suatu masyarakat yang endemik.[1]
Sebagai contoh yang masih segar dalam ingatan adalah sadistisme yang dilakukan
oleh orang tak dikenal terhadap 1 (satu) keluarga tewas dibantai di Takengon
Kabupaten Aceh Tengah.[2] selanjutnya
adalah salah bentuk pelanggaran syariat Islam yang dilakukan oleh penjual
burger yang membuka dagangannya pada bulan ramadhan yang lalu. Ditempat itu
memperkerjakan pramusaji wanita berpakaian seronok yang tampak setia menemani
pelanggan laki-laki hingga sahur.[3]
Namun, penulis berkeyakinan bahwa contoh-contoh tersebut masih banyak terjadi,
adakalanya sebagai angka gelap kejahatan (the
dark number of crime) yang tidak terpantau oleh media maupun yang tidak dilaporkan
kepada pihak yang berwenang.
Munculnya
angka gelap kejahatan sangat tergantung pada korban. Korbanlah yang harus
melaporkan pada Polisi bahwa dirinya telah menjadi korban dari suatu kejahatan.
Oleh karena itu, secara umum terdapat jenis korban berdasarkan tingkat
kesadaran yaitu:[4]
1. Kesadaran
korban bahwa dirinya telah menjadi korban. Pada tingkat awal, korban harus
mengetahui dan menyadari bahwa dirinya telah menjadi sasaran kejahatan.
Kejahatan tertentu, yang dilakukan dengan cara yang halus, seringkali membuat
korban tidak menyadari bahwa dirinya telah menjadi sasaran kejahatan. Misalnya
kejahatan korporasi, kejahatan di bidang lingkungan hidup, dan lain-lainya.
2. Kesadaran
korban untuk segera melaporkan kejahatan yang menimpa dirinya. Banyak korban
yang melaporkan kejahatan yang telah dialami tanpa menyadari telah merusak atau
menghilangkan bukti-bukti yang diperlukan polisi untuk mengungkap kejahatan
tersebut. Disamping itu, banyak juga korban yang tidak melaporkan kejadian yang
telah dialaminya kepada polisi karena alasan persoalan pribadi, misalnya:
kejahatan kesusilaan, yang apabila dilaporkan akan merasa tercemar dan merusak
harga diri bagi si korban pada akhirnya korban mengalami ganda kerugian.
Melihat
kenyataan diatas ada hal yang menarik, dari penerapan (penegakan) syariat Islam,
yang seharusnya semua perilaku dan tindakan manusia harus berdasarkan apa yang
digariskan oleh ajaran Islam (khususnya yang beragama Islam) sedangkan bagi
yang beragama non muslim, semaksimal mungkin harus menjaga toleransi antar umat
beragama. Terlepas dari itu, mengapa masih banyak terjadi pelanggaran dan
tindak kejahatan ditengah derasnya implementasi syariat Islam di Provinsi Aceh?
Apa yang salah dari model penegakan hukum tersebut.
Dasar
ideologis dan sosiologis menegakkan hukum bersandarkan syariat Islam adalah
perlunya proses pemahaman ajaran Islam yang komprehensif (kaffah). Suatu model
pemahaman sekaligus penerapan ajaran Islam Alqu’ran dan Sunnah yang dimulai
dari suatu keyakinan bahwa syarian Islam menawarkan berbagai solusi yang
kondusif.[5]
Menurut Islam, yang menentukan hukum itu bukan badan legislatif buatan manusia
melainkan Allah. Jika hukum dimaksudkan sebagai ketentuan-ketentuan yang
mengikat dan tanpa dibedakan terlalu jauh dari apa yang dinamakan dengan
syariat. Maka di dalam Islam hukum itu hanya diciptakan oleh Allah. Manusia
tidak dapat menciptakan hukum yang bertentangan dengan apa yang ditetapkan oleh
Allah. Karena hukum Allah sangat akurat dalam menangani pelbagai kehidupan
manusia, terkadang manusia yang tidak mau mempergunakan hukum Islam dikarenakan
ada tujuan yang hendak dicapai. Keserakahan dan kekufuran manusia terhadap
nilai-nilai yang pada akhirnya menjerumuskan manusia dalam lembah kejahatan.
B. Problematika Penerapan Syariat Islam
Perdebatan
soal penerapan hukum Islam (syariat) di sejumlah negara sampai sekarang
merupakan persoalan yang belum kunjung selesai. Persoalan ini paling tidah
disebabkan oleh kelompok muslim yang pro dan kontra di seputar pelaksanaan
hukum Islam itu sendiri. Salah satu persoalan tersebut adalah tentang penerapan
hukum pidana Islam.[6]
Penerapan
hukum pidana Islam juga mendapat tantangan penerapannya di Provinsi Aceh, yang
sampai sekarang Kanun mengenai Jinayah belum disahkan menjadi kanun yang
mengatur perbuatan tersebut. Akhirnya disini kita dapat melihat keseriusan
Pemerintah dalan menegakkan hukum sesuai syariat Islam. Penulis melihat
penerapan syariat Islam di Aceh cenderung setengah hati. Syariat Islam hanya
menjadi slogan-slogan demi tujuan tertentu.
Syariat
Islam bukan hanya bercirikan pemasangan pamflet-pamflet yang bertuliskan huruf
Arab, bukan juga setiap kepala daerah yang akan bertarung di pemilukada
diharuskan membaca Alqur’an yang sebagian kalangan hanya menganggap sebagai
formalitas semata. Penulis ingin mengajak bagaimana implementasi penerapan
syariat Islam berdasarkan kanun-kanun yang disepakati Pemerintah dan Ulama.
Tidak heran jika di era negeri yang
katanya bersyariat ternyata kejahatan dan pelanggaran juga meningkat. Hal
ini diakibatkan oleh tebang pilih dalam menindak setiap kejahatan dan
pelanggaran norma-norma syariat Islam.
Sedikitnya
ada tiga arus besar dalam menyikapi syariat Islam, Pertama arus formalisasi syariat. Kelompok ini menhendaki agar
syariat Islam dijadikan landasan riil berbangsa dan bernegara, implikasinya ia
getol menyuarakan perlunya mendirikan negara Islam atau dengan berupaya
memasukkan syariat Islam secara formal dalam undang-undang negara. Kedua, arus deformalisasi syariat,
kelompok ini memilih pemaknaan syariat tidak serta merta dihegemoni oleh
negara, karena wataknya represif, syariat secara individu sudah diterapkan
sehingga formalisasi dalam undang-undang tidak mempunyai alasan yang kuat. Ketiga, arus moderat, kelompok ini
dikesankan mengambil jalan tengah, menolak sekulerisasi. Pemandangan tersebut
menjadi bukti kuat, bahwa penerapan syariat Islam merupakan arena perdebatan
yang subur dan tak jarang tarik ulur.[7]
Semua
keberatan-keberatan terhadap penerapan syariat melalui hukum positif dan
gagasan tentang negara Islam, tentunya tidak akan menghalangi umat Islam secara
personal untuk menyesuaikan diri dengan setiap aspek syariat. Asumsi-asumsi
yang perlu digarisbawahi dari klaim pelaksanaan syariat melalui hukum positif
adalah bahwa masyarakat dan komunitas Islam memiliki hak dan tanggung jawab
untuk mengatur kehidupan pribadi dan publik sesuai dengan ketentuan-ketentuan Islam.
Ditengah hiruk pikuknya penegakan syariat Islam tenyata berbagai tindakan
kriminal (suatu perbuatan yang dipandang tercela oleh syara’) tak kunjung
surut, salah satu faktor menyatakan bahwa belum bersatunya para penduduk negeri
mengenai syariat islam.
Tujuan
utama syariat Islam (al-maqasid al
syariah) adalah bentuk kemaslahatan umat, serta mengurangi intensitas
kejahatan dan pelanggaran dimuka bumi. Kemaslahatan sebagaimana dijelaskan al-Syatibi,
dikategorikan menjadi tiga kelompok yang meliputi:[8]
1. Daruriyat,
secara bahasa berarti kebutuhan mendesak. Ia mengandung lima prinsip (agama,
jiwa, akal, keturunan dan harta) sebagai aspek-aspek hukum yang sangat
dibutuhkan demi berlangsungnya urusan agama dan keduniaan manusia secara baik.
Pengabaian terhadap aspek-aspek tersebut akan mengakibatkan kekacauan dan
ketidakadilan didunia ini, dan akan berlangsung dengan sangat tidak
menyenangkan.
2. Hajiyat (secara
bahasa berarti kebutuhan), adalah aspek-aspek hukum yang dibutuhkan untuk
meringankan beban yang teramat berat, sehingga hukum dapat dilaksnakan tanpa
rasa tertekan dan terkekang. Keringanan-keringanan hukum semacam ini diperlukan
agar kehidupan dan hukum yang dimiliki umat Islam dapat diterima.
3. Tahsiniyyat
(secara bahasa berarti hal-hal penyempurna), menunjuk pada aspek-aspek hukum seperti
anjuran untuk memerdekakan budak, sedekah pada orang miskin dan sebagainya.
hal-hal tersebut bukan merupakan kebutuhan mendesak, namun mereka sangat
berarti dalam nilai tambah bagi karakter secara umum. Atas dasar taksonomi
kemaslahatan (masalih) inilah syariat Islam
(al-maqasid al syariah).
Berdasarkan
penjelasan singkat diatas bahwa tujuan syariat apabila dapat dilaksanakan maka
tenteramlah kehidupan dimuka bumi. Disamping keberatan-keberatan terhadap
pemberlakuan syariat Islam, juga adanya salah paham terhadap cara pandang
tentang Islam itu sendiri misalnya mengenai:[9]
1. Kesalahpahaman
mengenai ruang lingkup ajaran Islam terjadi, misalnya, karena orang menganggap
semua agama itu sama dan ruang lingkupnya sama juga. Dipengaruhi ajaran agama
nasrani yang ruang lingkupnya hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan
saja. Orang mengannggap agamai Islam pun demikian halnya. Selain menhatur
hubungan manusia dengan Tuhannya maka agama Islam juga mengatur hubungan
manusia dengan dirinya sendiri dan dengan benda dan alam sekitar. Oleh sebab
itu Islam harus dipelajati dari sumber aslinya yaitu Alqur’an dan Hadist Nabi
Muhammad yang memuat sunnahnya.
2. Kesalapahaman
menggambarkan kerangka dasar ajaran Islam. Orang menggambarkan bagian-bagian agama
Islam sepotong-potong atau sebagian-sebagian saja. Misalnya orang menggambarkan
atau membuat gambaran yang memberi kesan seakan-akan agama Islam itu hanyalah
mengenai akidah atau iman saja, atau hanya tentang syariat atau hukum belaka,
atau ajaran akhlak semata-mata, yang kesemuanya itu tanpa meletakkan dan
menghubungkan bagian-bagian dalam kerangka dasar keterpaduan agama Islam secara
menyeluruh.
3. Kesalahpahaman
mempergunakan metode mempelajari Islam, misalnya metode mempelajari yang
dipakai oleh seorang orientalis, sering mempergunakan dan menganalisis,
mempelajari Islam dengan pendekatan yang tidak benar dan cenderung melecehkan Islam.
Dengan
demikian tugas utama dan mendesak umat Islam dewasa ini yaitu selain
meningkatkan pemahaman atas ajaran-ajaran Islam secara konprehensif, ilmiah dan
kritis, dan bagaimana kita sekaligus berusaha untuk mencegah penyakit rohani
yang memungkinkan timbulnya kejahatan. Mencari pembuktian yang valid dan
kondusif, dimana keunggulan syariat Islam sebagai hidayah, dapat menjadi
masukan yang mampu memperkuat dimensi kerohanian dan keimanan umat Islam.
Studi-studi
yang memperbandingkan keunggulan ajaran Islam dan menjadi bukti fungsional
dalam kehidupan riil, sungguh menjadi tantangan yang tidak bisa ditunda lagi.
Banyak umat Islam yang heran mengapa praktek-praktek dan nilai-nilai yang
bertentangan dengan ajaran demokrasi tang timbul di negara-negara Islam.
Persoalan ini jelas bukan karena ajaran Islam yang salah, melainkan justeru
nilai budaya lokal yang tidak tegas (misalnya: warung remang-remang, etika
berbusana, dll) lebih memainkan peranan
dominan dalam mempengaruhi cara masyarakat berkeyakinan, berfikir dan
bertingkah laku.
C. Penyebab Utama Kejahatan: Iman
Determinisme
Munculnya
banyak teori penyebab kejahatan, belum secara maksimal dapat menjelaskan secara
jelas apa yang menjadi penyebab utama dari kejahatan. Pada akhirnya dalam
penegakannya sulit terwujud. Dibalik itu semua, mustahil pencegahan dan
penegakan hukum terhadap kejahatan dan pelanggaran dilakukan menyeluruh. Sebagai
contoh bahwa kejahatan itu timbul akibat faktor ekonomi maka kebijakan yang
perekonomian dapat meredam kejahatan, namun yang terjadi bahwa banyak orang
melakukan korupsi justeru adalah orang-orang yang perekonomiannya tinggi.
Melihat
fenomena ini maka penyebab kejahatan dan pelanggaran adalah “Iman Determinisme”
sebagai penyebab utama terjadinya kejahatan. Manakala iman menurun maka
individu, siapa pun dia memiliki potensi yang kuat untuk melakukan kejahatan,
sebaliknya semakin tinggi iman seseorang maka semakin jauh untuk melakukan
kejahatan, karena ada pertimbangan moral dan kegelisahan disetiap perbuatan
yang buruk itu dilakukan. Konsep iman terdiri dari:[10]
1) Beriman
Kepada Allah Swt Penguasa Langit dan Bumi
Umat manusia harus
menyadari bahwa mereka dahulunya tidak ada dimuka bumi ini. Siapa yang
menciptakan manusia dari ketiadaan? Jawabannya adalah Allah Yang Maha Agung,
Dialah yang telah menciptakan umat manusia. Setelah itu, manusia akan
dkembalikan ke Hadirat Allah pencipta alam semesta. Pada hari itu kiamat, yang
pada akhirnya Allah Yang Maha Hakim akan mengadili manusia berkenaan dengan
tindak tanduknya selama di dunia yang akan melahirkan punishment dan reward.
2)
Beriman Pada Hari Kiamat
Dasar
pemikirannya adalah bahwa kehidupan di dunia adalah bersifat sementara
sedangkan akhirat adalah abadi. Jalan mana yang akan dia pilih maka itulah
kesadaran bernurani, hukuman yang dijatuhkan juga merupakan pilihan yang
diyakini akan menimpanya, Dengan demikian, manusia akan tertuntut untuk
berlomba melakukan amal shalih guna mengumpulkan bekal menghadap Allah SWT Yang Maha Adil dan keras
siksa-Nya.
Secara umum dalam etika dikenal ada
dua faham yang bertolak belakang pendapatnya dalam menilai perbuatan manusia
dari segi baik dan buruknya yaitu faham yang dikenal dengan:[11]
1. Determinisme
adalah suatu paham yang secara ontologis menganggap bahwa manusia adalah suatu
makhluk yang tidak memiliki kehendak bebas. Sejak perbuatannya dilakukannya
bukan disadarinya atau tidak atas kemauannya memilih alternatif yang tersedia,
melainkan ditentukan atau dikendalikan oleh sesuatu kekuatan diluar
kekuasaannya yaitu oleh Tuhan, hukum alam dan masyarakat.
2. Indeterminisme
adalah suatu paham yang menganggap bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki
kehendak bebas mampu mengendalikan diri dan harus bertanggung jawab penuh
terhadap perbauatannya.
Determinisme akan sangat berbahaya
jika mengajarkan: tidak seorang dapat dipertanggungjawabkan, tiap-tiap orang
boleh berbuat sekehendaknya, sebaliknya indeterminisme mengajarkan bahwa
tiap-tiap orang tidak ada perkecualiannya, bertanggung jawab atas perbuatannya,
karena merupakan anggota masyarakat. yang harus mengambil tindakan terhadap
siapa sajayang melanggar peraturannya dan merugikan kepentingannya. Suara yang
terdapat dalam diri manusia yang mengatakan padanya bahwa perbuatan yang
dilakukannya adalah salah, yang mengatakan padanya, bahwa selanjutnya perbuatan
yang demikian harus dihindarkan dan sebetulnya adalah suara dari masyarakat.[12]
Tentu saja sepanjang hidupnya
seorang manusia akan mendapat pengaruh dari lingkungannya baik dari lingkungan
keluarga maupun lingkungan masyarakat. Namun ia tetap mampu mengadakan pilihan
atas beberapa alternatif yang ada. Salah satu syarat untuk mengadakan penilaian
ialah kehendak bebas, selain adanya kehendak bebas untuk memilih diantara
alternatif, maka pengetahuan atau kesadaran dapat menilai perbuatan baik dan
buruk.
D. Penyelesaian masalah kejahatan
Setelah mengetahui bahwa kejahatan
disebabkan oleh kurangnya iman kepada Tuhan Penguasa Langit dan Bumi, maka
upaya penanggulangan kejahatan dapat diaplikasikan sebagai berikut:
1.
Memperkuat iman umat manusia terhadap Allah
sebagai pencipta umat manusia.
2.
Memberlakukan hukum Allah yang maha hakim
dalam menangani segala macam tindak kejahatan. Hukum Allah yang maha adil
mempunyai universalitas dalam menangani kejahatan. Mulai dari kejahatan kecil
sampai kejahatan yang besar.
3.
Adanya itikad baik dalam memberlakukan
syariat Islam, sehingga semua lapisan masyarakat memandang aturan sebagai acuan
dalam bertindak, bukan sebaliknya sebagai pasal-pasal mati.
4.
Sinergisitas anntara ulama dan ulama dalam
hal pemberantasan kejahatan dan pelanggaran norma-norma agama.
5.
Adanya partisipasi masyarakat dalam hal
pencegahan dan penaggulangan setiap kemungkaran yang terjadi didalam masyarakat
Allah SWT telah menetapkan
hukum-hukum uqubat (pidana, sanksi dan pelanggaran) dalam peraturan islam
sebagai pencegah dan penebus dosa. Sebagai pencegah karena ia berfungsi
mencegah manusia dari tindakan-tindakan criminal. Sebagai penebus, karena ia
berfungsi menebus dosa seorang muslim dari azab Allah dihari kiamat. Keberadaan
uqubat dalam islam, yang berfungsi sebagai pencegah, telah disebutkan dalam
Alqur’an yang artinya: “dan dalam Qishas
itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal,
supaya kamu bertakwa” (Al-Baqarah 2:179).
Akhir dari setiap kejahatan adalah
penjara (lembaga pemasyarakatan), akhir-akhir ini sistem rehabilitasi juga
mengalami permasalahan, karena tujuan pemidanaan yang ingin dicapai menjadi
tidak jelas. Seperti: membludaknya jumlah narapidana, kekerasan dalam penjara,
penyakit dalam penjara, homoseksual dalam penjara, sekolah kejahatan bagi
pemula, beban negara semakin membengkak dengan bertambahnya narapidana. Maka
sudah seharusnya kita semua kembali kepada hukum Islam secara kaffah.
Daftar Pustaka
Chairil A Adjis dan Dudi Akasyah, Kriminologi Syariah, Jakarta: RMBOOKS,
2007
Edi Warman, Selayang Pandang Tentang Kriminologi, Medan: USU Press, 1994
Jawahir
Thontowi, Islam, Politik dan Hukum,
Yogyakarta: Madyan Press, 2002
Made
Darma Weda, Kriminologi, Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 1996
Mohammad
Daud Ali, Hukum Islam, Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 1998
Ridwan,
Limitasi Hukum Pidana Islam,
Semarang: Wali Songo Press, 2008
W. A. Bonger, Pengantar Tentang Kriminologi, Jakarta: PT. Pembangunan, 1995
[1] Chairil A Adjis dan Dudi
Akasyah, Kriminologi Syariah,
(Jakarta: RMBOOKS, 2007), hlm. 1
[2] Dijelaskan bahwa: ketiga korban
dibacok berulang-ulang dibagian kepala, wajah dan anggota tubuh lainnya. Dugaan
sementara motif pembunuhan adalah dendam. Lihat Harian Serambi Indonesia Tgl.
29 Oktober 2011, hlm. 1
[3] Lihat Harian Serambi Indonesia
Tgl. 23 Agustus 2011, hlm. 3
[4] Made Darma Weda, Kriminologi, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 1996) hlm. 95-96
[5] Jawahir Thontowi, Islam, Politik dan Hukum, (Yogyakarta: Madyan
Press, 2002), hlm. 26
[6] Ridwan, Limitasi Hukum Pidana Islam, (Semarang: Wali Songo Press, 2008),
hlm. 1
[7] Ibid, hlm. 76
[8] Ibid, hlm. 82
[9] Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 1998), hlm. 58
[10] Chairil A Adjis dan Dudi
Akasyah, Op. Cit, hlm. 11
[12]
W. A. Bonger, Pengantar Tentang
Kriminologi, (Jakarta: PT. Pembangunan, 1995 Cet, Ketujuh), hlm. 39
Pengantar Sosiologi Hukum
Oleh: Yusrizal, S.H., M.H.
A.
Pengertian
Dari sudut sejarah
sosiologi hukum untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh seorang Italia yang
bernama Anzilotti pada Tahun 1882. Sosilogi hukum lahir dari
pemikiran-pemikiran:
1. Perseorangan terdiri dari:
·
Filsafat hukum
·
Sosiologi
·
Ilmu hukum
2. Kolektif terdiri-dari:
·
Mazhab-mazhab/aliran
Menurut M.
Rehbinder sosiologi hukum merupakan cabang dari 2 (dua) ilmu: hukum dan
sosiologi. Alasannya:
1. Hukum didasarkan pada kehidupan sosial
2. Hukum mengatur kehidupan sosial
3. Hukum merupakan bagian dari sistem pengaturan sosial.
Suryono Soekanto
dan Satjipto Rahardjo mendefinisikan sosiologi hukum sebagai ilmu yang
mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dan masyarakat. Objek yang
menjadi sasaran studi sosiolgi hukum adalah pengoganisasian sosial hukum. Objek
sasaran disini adalah badan-badan yang terlibat dalam penyelenggaraan hukum,
misalnya: pembuatan undang-undang, pengadilan, polisi, advokat.
Sosiologi Hukum
ialah: Ilmu pengetahuan tentang interaksi manusia yang berkaitan dengan hukum dalam
kehidupan bermasyarakat. Sosiologi hukum menyelidiki fakta lain yang tidak
diselidiki oleh ilmu hukum, antara lain perikelakuan hukum, meneliti perubahan
sosial (social change) atau
sebaliknya perubahan/pembaharuan hukum (change
of law).
B. Ruang Lingkup Sosiologi
Hukum
Adapun
ruang lingkup sosiologi hukum secara umum adalah hubungan antara hukum dengan
gejala-gejala sosial sehingga membentuk kedalam suatu lembaga sosial (social institutions) yang merupakan himpunan
nilai-nilai, kaidah-kaidah dan pola-pola perikelakuan yang berkisar pada
kebutuhan-kebutuhan pokok manusia yang hidup di masyarakat dan atau dalam
lingkup proses hukumnya (law in actions)
bukanlah terletak pada peristiwa hukumnya (law
in the books).
Menurut
Purbacaraka dan Soerjono Soekanto dalam bukunya berjudul menelusuri sosiologi hukum
negara, bahwa ruang lingkup sosiologi hukum adalah hubungan timbal balik atau
pengaruh timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala sosial lainnya yang
dilakukan secara teoretis analitis maupun secara empiris terhadap fenomena
sosial hukum yang senyatanya hidup didalam masyarakat, yang diartikan sebagai
hukum dalam ruang lingkup tersebut adalah suatu kompleks daripada sikap tindak
manusia yang mana bertujuan untuk mencapai kedamaian dalam pergaulan hidup.
C. Karakteristik Sosiologi
Hukum
Berangkat
dari perkembangan hukum sebagai fakta sosial yang mana senyatanya hidup dan
berakar dalam masyarakat, maka sosiologi hukum bertujuan paling tidak antara
lain:
1.
Untuk memberikan penjelasan
atau pencerahan terhadap proses praktik-praktik hukum. Apakah praktek itu
dibedakan dalam pembuatan undang-undang, penerapan pengadilan, ia juga
mempelajari bagaimana praktek itu terjadi masing-masing bidang kegiatan hukum
tersebut. Dalam hal ini, sosiologi hukum berusaha untuk menjelaskan mengapa
praktek yang demikian terjadi, sebab-sebabnya, faktor-faktor yang
mempengaruhinya, latar belakangnya. Dengan demikian, mempelajari sosiologi
hukum secara sosiologis adalah menyelidiki tingkah laku orang dalam bidang
hukum, baik yang sesuai dengan hukum maupun yang menyimpang dari hukum.
2.
Sosiologi hukum juga mempunyai
dimensi yang senantiasa menguji kesahihan proses empiris (empirical validity). Sifat khas yang muncul disini adalah mengenai
bagaimana kenyataanya peraturan itu, apakah kenyataannya seperti yang tertera
dalam bunyi peraturan atau tidak.
3.
Satu hal yang terpenting
adalah karena sosiologi hukum tidak berada pada tataran hukum sebagai fakta
hukum (law in books), maka sosiologi
hukum tidaklah melakukan penilaian terhadap hukum (tidak membenarkan dan atau
tidak menyalahkan suatu hukum).
D. Fungsi hukum dalam masyarakat yaitu:
- Law as tool of social control ( sebagai sosial kontrol)
Dalam Law as social control ( sebagai sosial kontrol) hukum hanya menjaga
ketertiban masyarakat agar setiap orang menjalankan peranannya sebagaimana yang
telah ditentukan sehingga dapat
dikatakan fungsi hukum di sini “statis”. Hukum berfungsi apabila masyarakat
telah menjalankan peranannya sebaik-baiknya.
2.
Law as a tool of social
engineering (alat rekayasa sosial).
Dalam Law as a tool of social engineering (alat rekayasa sosial), hukum
berfungsi dinamis, bukan saja meneguhkan pola-pola yang telah ada melainkan
berfungsi untuk menciptakan hubungan-hubungan atau hal-hal baru bahkan hukum
diarahkan untuk menciptakan perubahan-perubahan
dalam masyarakat menuju yang diinginkan.
Fungsi-Fungsi
Hukum:
1. Menetapkan hubungan-hubungan antara para anggota
masyarakat, dengan menunjukkan jenis tingkah laku yang diperkenankan dan yang
dilarang
2. Menentukan pembagian kekuasaan
3. Menyelesaikan sengketa
4. Memelihara kemampuan masyarakat untuk menyesuaikan
diri dengan kondisi-kondisi kehidupan yang berubah.
5. Sebagai kontrol sosial
Setiap proses pembentukan hukum serta
perubahan-perubahannya tidak boleh
bertentangan dengan cita hukum yang telah disepakati. Cita hukum harus dipahami
sebagai dasar sekaligus pengikat dalam pembentukan hukum.
Hukum Sebagai Alat
Kejahatan
Law as a tool of crime, perbuatan jahat dengan menggunakan hukum sebagai alatnya sulit
dilacak karena diselubungi oleh hukum dan berada dalam hukum.
®
Judicial
activism
-
Kecenderungan
hakim mengembangkan atau memperluas pengertian hukum dan peraturan konstitusi
yang berlaku dengan gunakan interpretsi hukum menurut pendapatnya;
-
Kecendrungan
para penegak hukum untuk mengarah ke upaya memperluas/mempersempit pengertian
peraturan hukum dan ketetapan konstitusi diluar kehendak pembuat peraturan
hukum & ketetapan tersebut.
Pembentukan
dan Perkembangan Hukum
a.
hukum yang baik dibentuk
dengan mempertimbangkan berbagai kepentingan yang ada dalam masyarakat baik
kepentingan umum (termasuk yang utama adalah kepentingan negara), kepentingan
individu dan kepentingan kepribadian;
b.
dengan demikian pembentukan
hukum harus berupaya menyeimbangkan berbagai kepentingan tersebut ;
c.
Kepentingan umum yang terutama
adalah kepentingan negara untuk melindungi eksistensi dan hakikat negara dan
kepentingan untuk mengawasi dan memajukan kesejahteraan sosial).
d.
Pembentukan hukum harus
memperhatikan hukum yang hidup. Terdapat perimbangan antara hukum tertulis dan
hukum tidak tertulis.
e.
perkembangan hukum sangat
dipengaruhi oleh kondisi ideologi, politik, sosial dan budaya. Jadi, tidak
hanya sekedar keinginan pemerintah
Tugas
Utama Hukum
§ Tugas
utama hukum adalah rekayasa sosial (law as tool of social engineering,
Roscoe Pound)
§ hukum
tidak saja dibentuk berdasarkan kepentingan masyarakat tetapi juga harus
ditegakkan sedemikian rupa oleh para yuris sebagai upaya sosial kontrol dalam
arti luas yang pelaksanaannya diorientasikan kepada perubahan-perubahan yang
dikehendaki
§ Oleh
karena hukum sangat dipengaruhi oleh komponen-komponen di luar hukum, maka para
penegak hukum dalam mewujudkan tugas utama hukum harus memahami secara benar
logika, sejarah, adat istiadat, pedoman prilaku yang benar agar keadilan dapat
ditegakkan.
Menurut
Daniel S. Lev mengatakan bahwa, bukan hukum itu tidak otonom tetapi juga
kadang- kadang hukum itu simbolistis mewakili pimpinan sosial politik. Yang
paling dasar dalam perubahan sosial bukan hukum sendiri, tetapi pemakaian alat
alat kekuatan, kekuasaan, hukum dan lain lain yang ada oleh pimpinan sosial dan
politik. Peranan hukum dalam hal ini ialah sebagai suatu idiologi, yaitu orang
mendapat jaminan, kepastian bahwa mereka tidak dapat diperlakukan
sewenang-wenang oleh pihak lain. yang paling penting dalam perubahan sosial
tidak dilakukan oleh hukum, melainkan oleh pimpinan sosial dan politik di sini
termasuk juga hakim, jaksa, advokat. Hukum sendiri tidak dapat menentukan
perubahan sosial, perubahan politik, perubahan ekonomi; itu tergantung kepada
kekuasaan dan kekuatan dalam masyarakat sendiri. Hukum peranannya tidak
langsung dalam perubahan sosial, ia hanya memberi kerangka idiologis dalam
perubahan perubahan sosial yang dikehendaki, yaitu jaminan orang akan
diperlakukan secara fair.
Ini amat penting, karena tanpa jaminan ini,
perubahan perubahan sosial yang dikehendaki dalam masyarakat hampir tidak
mungkin, karena orang tidak percaya kepada negara, kepada struktur dalam
masyarakat, atau kepada apa saja.
Kesadaran
hukum sangat dipengaruhi oleh:
1.
Pengetahuan
hukum;
2.
Pemahaman
hukum;
3.
Sikap
terhadap hukum, dan
4.
Perilaku
hukum.
Syarat
hukum yang rasional menurut ahli filsafat:
- Hukum tidak saja wajib mendorong
rasionalitas masyarakat, tetapi justru hukum itu sendiri harus rasional
- Agar hukum yang rasional itu mampu
mewujudkan tujuannya, maka mutlak harus didukung oleh aparatur penegak
hukum yang mampu bertindak efisien
- Susbstansi hukumnya sesuai dengan
struktur masyarakat tempat dimana hukum akan mewujudkan tujuannya.
- Moral berperan penting untuk
terwujudnya hukum yang lebih rasional.
Kebanyakan
aparat penegak hukum mereduksi pemahaman bahwa menegakkan hukum diartikan sama dengan menegakkan undang-undang. Pemahaman ini membawa implikasi bahwa hukum (undang-undang) menjadi pusat perhatian. Padahal, masalah penegakan hukum tidak
dapat hanya dilihat dari kaca mata undang-undang saja, tetapi harus
dilihat secara utuh dengan melibatkan semua unsur yang ada, seperti
moral, perilaku, dan budaya. Oleh karena itu, perlu orientasi dan cara
pandang baru dalam penegakan hukum.
Aliran-Aliran Pemikiran Yang
Mempengaruhi Terbentuknya
Sosiologi Hukum
A.
Pendahuluan
Beberapa hal yang menjadi penyebab mengapa
beberapa tokoh atau ahli hukum melibatkan diri dalam pemikiran filsafat atau
ahli hukum melibatkan diri dalam pemikiran filsafat hukum dan ilmu hukum.
Soerjono Soekanto mengungkapkan beberapa penyebab para tokoh atau para ahli
hukum tersebut menerjunkan diri dalam bidang filsafat hukum antara lain; lantaran
timbulnya kebimbangan akan kebenaran dan keadilan dari hukum yang berlaku,
timbulnya berbagai pendapat ketidakpuasan terhadap hukum yang berlaku. Karena
hukum tersebut tidak lagi sesuai dengan keadaan masyarakat yang justru diatur
oleh hukum itu, timbulnya ketegangan antara hukum yang berlaku dengan filsafat,
karena adanya perbedaan antara dasar-dasar dari hukum yang berlaku dengan
pemikiran filsafat. Soerjono Soekanto
mengakui hal tersebut diatas bahwa isi dari peraturan-peraturan yang berlaku
tidaklah lagi dianggap adil dan tidak dapat dipergunakan sebagai ukuran untuk
menilai perilaku dan atau tindakan orang.
Dari paparan singkat diatas filsafat hukum
menurut soekanto adalah bertujuan untuk menjelaskan nilai-nilai dan juga
dasar-dasar hukum sampai kepada dasar-dasar filsafatnya. Inilah beberapa mazhab
atau pemikiran yang melatarbelakangi terbentuknya sosiologi hukum:
1.
Mazhab Formalistis
Tokoh terpenting dalam mazhab ini adalah Jhon Austin (1790-1859), ia mengatakan
bahwa: hukum merupakan perintah dari mereka yang memegang kekuasan tertinggi (law is command of the lawgivers), atau
dari yang memegang kedaulatan. Menurut Austin, hukum adalah perintah yang
dibebankan untuk mengatur mahluk berfikir, perintah mana yang dilakukan oleh
mahluk berfikir yang memegang dan mempunyai kekuasaan. Austin menganggap hukum
sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup dan karena
ajarannya dinamakan Analitical
Jurisprudence. Ajaran Austin kurang/tidak member tempat bagi hukum yang
hidup dalam masyarakat.
Austin membagi hukum dalam 2 (dua) bagian:
1. Hukum yang diciptakan oleh Tuhan untuk manusia
2. Hukum yang dibuat dan disusun oleh manusia,
hukum ini terbagi lagi menjadi 2 (dua) bagian:
a. Hukum yang sebenarnya; hukum yang tepat
disebut sebagai hukum, jenis hukum ini disebut juga sebagai hukum positif. Hukum
yang sebenarnya mengandung: perintah, sanksi, kewajiban dan kedaulatan. Hukum
yang sebenarnya terbagi 2 (dua):
·
Hukum yang dibuat
oleh penguasa seperti undang-undanf, peraturan pemerintah dan lain-lain.
·
Hukum yang dibuat
atau disusun oleh rakyat secara individual yang dipergunakan untuk melaksanakan
hak-hak yang diberikan kepadanya, misalnya: hak kurator terhadap badan/orang
dalam kuratele atau hak wali terhadap orang yang berada dibawah perwalian.
b. Hukum yang tidak sebenarnya; adalah bukan
hukum yang merupakan hukum yang secara langsung berasal dari penguasa, tetapi
peraturan-peraturan yang berasal dari perkumpulan-perkumpulan atau badan-badan
tertentu.
Tokoh yang kedua adalah Hans Kelsen (1881), dari unsur sosiologis berarti bahwa ajaran Hans
Kelsen tidak memberi tempat bagi hukum kebiasaan yang hidup dan berkembang
didalam masyarakat. ajaran Kelsen memandang hukum sebagai sollen yuridis semata-mata yang sama sekali terlepas dari das sein/kenyataan sosial. Hukum
merupakan sollens kategori (seharusnya) dan bukan seins kategori (adanya):
orang menaati hukum karena ia merasa wajib untuk mentaatinya sebagai suatu
kehendak negara. hukum itu tidak lain merupakan suatu kaidah ketertiban yang
menghendaki orang menaatinya sebagaimana seharusnya.
Ajaran stufen theory berpendapat bahwa suatu sistem hukum adalah suatu
hierarkhis dari hukum dimana suatu ketentuan hukum tertentu bersumber pada
ketentuan hukum lainnya yang lebih tinggi adalah grundnorm atau norma dasar. Ringkasnya
ajaran Kelsen ini adalah:
·
Hukum adalah
suatu keharusan yang mengatur tingkah laku manusia sebagai mahluk rasional.
·
Hukum tidak
mempersoalkan “bagaimana hukum seharusnya” (what the law ought to be),
tetapi “apa hukumnya” (what the law is).
·
Hukum tidak lain
adalah kemauan negara, namun orang taat kepada hukum bukan karena negara
menghendakinya, tetapi karena ia merasa wajib mentaatinya sebagai perintah
negaranya.
·
Bagi Kelsen Hukum
berurusan dengan bentuk (forma), bukan dengan isi (materia).
·
Suatu hukum dapat
saja tidak adil, namun tetap saja merupakan hukum karena dikeluarkan oleh
penguasa.
·
Keadilan sebagai
isi hukum berada di luar hukum.
·
Kelsen dipandang
sebagai tokoh pencetus Teori Jenjang (Stufentheorie), yang semula
diperkenalkan oleh Adolf Merkl.
·
Hukum adalah
suatu sistem yang terdiri dari susunan norma berbentuk piramida. Norma yang
lebih rendah memperoleh kekuatannya dari suatu norma yang lebih tinggi.
·
Semakin tinggi suatu
norma, maka akan semakin abstrak sifatnya, sebaliknya semakin rendah suatu
norma, maka akan semakin konkrit.
2.
Mazhab Sejarah dan Kebudayaan
Mazhab sejarah dan kebudayaan ini adalah
senyatanya mempunyai pemikiran yang bertentangan dengan mazhab formalisme.
Dalam hal ini mazhab sejarah dan kebudayaan menekankan bahwasanya hukum hanya
dapat dimengerti dengan menelaah kerangka sejarah dan kebudayaan dimana hukum
tersebut timbul.
Beberapa pemikir mazhab ini, antara lain Friedrich Karl von Savigny (1779-1861)
berasala dari jerman, tokoh ini juga ini dianggap sebagai pemuka sejarah hukum
(bahkan Georges Gurvitch menyatakan Savigny dan Puhcha adalah peletak dasar
mazhab sejarah ini). Ia berpendapat bahwa hukum merupakan perwujudan dari
kesadaran hukum masyarakat (valksgeist).
Yang mana semua hukum berasal dari adat istiadat dan kepercayaan serta bukan
berasal dari pembentukan undang-undang. Ringkasnya
pendapat Savigny yaitu:
·
Hukum adalah
suatu produk dari kekuasaan yang tidak disadari (unconscious force).
·
Hukum beroperasi
secara diam-diam di tengah masyarakat.
·
Sumber utama
hukum adalah adanya kesetiaan dari anggota masyarakat, kebiasaan dan kesadaran
dari anggota masyarakat.
·
Di setiap
masyarakat, tradisi dan kebiasaan tertentu yang secara terus menerus
dipraktekkan berkembang menjadi peraturan hukum dan diakui oleh organ-organ
negara.
Tokoh lain dalam mazhab ini adalah Sir Henry Maine (1822-1888), ia
mengatakan bahwa perkembangan hukum dari status kontrak yang sejalan dengan
perkembangan masyarakat yang mana masih sederhana kepada masyarakat yang
senyatanya sudah modern dan kompleks serta kaidah-kaidah hukum yang ada pada
masyarakat sederhana secara berangsur-angsur akan hilang dan berkembang kepada
kaidah-kaidah hukum sudah modern dan kompleks.
Mazhab ini membangun kajian-kajian adaptif
atas masyarakat yang relatif bersifat statis homogen, dengan masyarakat yang
komplek (modern), dinamis dan relatif heterogen. Sehingga sangat membantu dalam
perkembangan bahkan memprediksi bangunan sosiologi hukum baik secara teoritis
maupun secara aplikatif. Sehingga apa yang dikatakan Satjipto Rahardjo bahwa benturan-benturan antara hukum dan negara dengan
masyarakat dengan segala budayanya yang lebih alami memang tidaklah dapat
dihindari, apalgi suatu negara dan bangsa yang sangat majemuk (seperti
Indonesia), makanya agar proses hukum itu tidak dibatasi sebagai proses hukum,
melainkan sebagaimana ditegaskan Satjipto Rahardjo adalah juga proses sosial.
3.
Aliran Utilitarianisme
Prinsip aliran ini adalah bahwa masyarakat bertindak
untuk memperbanyak kebahagiaan dan mengurangi penderitaan. Sebagaimana yang
diungkapkan oleh Jeremy Bentham
(1748-1832) yaitu:
“Dalam teorinya tentang hukum, Bentham
menggunakan salah satu prinsip dari aliran utilitarianisme yakni bahwa manusia
bertindak untul memperbanyak kebahagiaan dan mengurangi penderitaan… setiap
kejahatan harus disertai dengan hukuman-hukuman yang sesuai dengan kejahatan
tersebut. Dan hendaknya penderitaan yang dijatuhkan tidak lebih dari apa yang
diperlakukan untuk mencegah terjadinya kejahatan”.
Yang menjadi kelemahan teori Bentham ini
adalah bahwa ukuran keadilan, kebahagiaan dan penderitaan itu sendiri
diinterpretasikan relatif berbeda antara manusia yang satu dengan yang lainnya.
Sehingga keadilan dan penderitaan tersebut tidaklah menjadi wujud yang pasti
sama bagi setiap manusia.
Tokoh lain dalam aliran ini adalah Rudolph Von Ihering (1818-1892) yang
ajarannya disebut sosial utilitarianisme. Ihering berpendapat:
“… hukum sebagai sarana untuk mengendalikan
individu-individu agar tujuannya sesuai dengan tujuan masyarakat dimana merela
menjadi warganya… hukum juga merupakan suatu alat yang dapat dipergunakan untuk
melakukan perubahan-perubahan sosial”.
4.
Aliran Realisme Hukum
Aliran ini diprakarsai oleh Karl Liewellyn (1893-1962), Jereme Frank (1889-1957) dan Justice Oliver Wendell Halmes
(1841-1935) ketiga orang tersebut berasal dari Amerika. Konsep mereka sangat
radikal tentang proses peradilan, dikatakannya bahwa hakim-hakim tidaklah hanya
menentukan hukuman, tetapi bahkan membentuk hukum. Seorang hakim selalu harus
memilih, dia yang menentukan prinsip-prinsip mana yang dipakai dalam menentukan
pemeriksaan di pengadilan dan pihak-pihak mana yang akan menang dalam suatu
perkara. Sering kali suatu keputusan hakim telah mendahului penggunaan prinsip-prinsip
hukum yang formal. Kemudian konsep keadilan dirasinalisasikan di dalam suatu
pendapat tertulis.
Aliran realisme hukum sangat memperhatikan
tentang konsep keadilan, namun secara ilmiah mereka menyadari bahwa keadilan, atau
hukum yang adil itu sendiri paling tidak sangat sulit ditentukan kalau tidak
dikatakan tak bisa ditetapkan. Sementara itu tugas hukum tidak lebih hanyalah
proses dugaan bahwa apabila seseorang berbuat dan atau tidak berbuat sesuatu,
maka dia akan menerima derita sebagai sanksi dan atau sebaliknya sesuai dengan
proses keputusan yang ditetapkan.
·
Essensi hukum ada pada penerapannya,
yang terdapat dalam putusan-putusan pengadilan
·
Keputusan-keputusan hakim sebagai
essensi hukum diputuskan dan dilaksanakan sesuai kebutuhan masyarakat
·
Hakim harus mendasarkan
putusan-putusannya pada akar dari hukum itu sendiri, yaitu yang berada di dalam
kebutuhan masyarakat itu sendiri (in social need).
Dasar-Dasar
Sosiologi Hukum
Oleh:
Yusrizal, S.H., M.H.
A. Manfaat Sosiologi Hukum
Dalam
hal ini secara ideal Purnadi Purbacaraka
dan Soerjono Soekanto memaparkan
kegunaan sosiologi hukum sebagai berikut:
1.
Memberikan kemampuan-kemampuan bagi
pemahaman terhadap hukum dalam konteks sosial.
2.
Mengadakan analisis terhadap
efektivitas hukum tertulis (bagaimana mengusahakan agar suatu undang-undang
melembaga di masyarakat.
3.
Mengadakan evaluasi terhadap
efektivitas hukum tertulis, misalnya mengukur berfungsinya suatu peraturan
didalam masyarakat.
Pemikiran
sosiologi hukum lebih berfokus pada keberlakuan empirik atau faktual dari
hukum. Hal ini, memperlihatkan bahwa sosiolgi hukum tidak secara langsung
diarahkan pada hukum sebagai sistem konseptual, melainkan pada kenyataan sistem
utama. Objek utama sosiologi hukum adalah masyarakat dan pada tingkatan kedua
adalah kaidah-kaidah hukum. Hal ini berbeda dengan hukum normatif memandang
hukum dalam hukum itu sendiri (peraturan).
B.
Realitas Hukum
Biasa
dikenal dengan Law on books dan Law in action Terjadinya perbedaan karena :
1.
Apakah “pola
tingkah laku sosial” telah mengungkapkan materi hukum yang dirumuskan dalam
peraturan.
- Apakah
keputusan pengadilan sama dengan apa yang diharuskan dalam peraturan.
- Apakah tujuan yang dikehendaki hukum sama dengan efek peraturan itu dalam kehidupan masyarakat.
- D. L. Kimbal menyatakan bahwa:
® Sikap ambivalen merupakan penghalang bagi tegaknya hukum;
® Kekuasaan yang tidak berparadigma hukum merupakan
peluang terjadinya pelanggaran HAM.
C. Peranan Hukum Sebagai Alat Untuk
Mengubah Masyarakat
Yakni
hukum sebagai sarana rekayasa (social
engineering by law), atau bisa disebut juga sebagai alat “agent of change” yang bermakna bahwa
seseorang atau beberapa orang sebagai bagian dari anggota masyarakat yang
diberi amanah untuk memimpin lembaga kemasyarakatan sehingga mempunyai
kesempatan untuk mengolah sistem sosial yang bersangkutan secara teratur.
Menurut
Sabian Utsman Secara umum ada 3 (tiga) peranan atau fungsi hukum sebagai proses
perubahan masyarakat yaitu:
1)
Pemberi bentuk (pedoman perilaku dan
pengendalian sosial serta sebagai landasan proses integrasi);
2)
Hukum juga digunakan sebagai penentu
prosedur dari tujuan masyarakat;
3)
Dalam perspektif pembangunan hukum
digunakan sebagai sarana perubahan masyarakat secara berkesinabungan dan
terarah.
Warga negara adalah sama didepan
hukum, disis lain warga negara berkewajiban mematuhi hukum sepanjang proses
pembuatan hukum tersebut, masyarakat dilibatkan secara aktif sehingga adanya
hukum dengan segala peraturan organik dan perangkat sanksinya diketahui,
dimaknai dan disetujui masyarakat, serta hukum dijadikan kebahagiaan hidup.
Harold J. Laski menyatakan: “bahwa warga negara berkewajiban mematuhi hukum,
jika hukum itu memuaskan rasa keadilan.”
Langganan:
Postingan (Atom)