Penemuan makanan yang kadaluarsa dan tidak memiliki izin edar
cenderung meningkat pada bulan puasa dan hari raya. Peningkatan itu mencapai
dua kali lipat. Hasil pengawasan rutin yang dilakukan Badan Pengawasan Obat dan
Makanan (BPOM) sepanjang Tahun 2011 ditemukan 42.000 makanan yang tidak berizin
edar dan 26.000 makanan kadaluarsa. Jumlah itu melonjak menjadi 80.000 makanan
yang beredar tanpa izin dan 49.000 makanan kadaluarsa saat pengawasan
ditingkatkan pada bulan puasa dan hari raya 2011. Tentu jumlah ini apabila
diawasi secara terpadu maka jumlah pasti akan meningkat tajam. Untuk itu
pengawasan BPOM sangat menjadi sangat penting. (Kompas, 19/7/2012)
Umumnya makanan yang tanpa izin berasal dari negara lain yang
bebas masuk melalui daerah perbatasan dan pelabuhan tikus. Sedangkan untuk
makanan kadaluarsa atau tak tak terdaftar banyak ditemukan dalam produksi usaha
kecil dan menengah yang menjadi tumpuan perekonomian rakyat. Mungkin tidak
salah apabila prinsip kehati-hatian dalam setiap kita berbelanja. Dalam hal ini
perlunya pembinaan oleh pemerintah daerah dan pengawasan berkelanjutan dari
BPOM akan membantu masyarakat, sehingga implementasi perlindungan hukum
terhadap konsumen dan pelaku usaha benar-benar tercapai.
Berdasakan gambaran diatas
memberikan dasar bahwa peredaran produk makanan bermasalah teryata berdampak
luas terhadap kemaslahatan kehidupan masyarakat, tanpa kita sadari bahwa
perilaku sehari-hari sering meremehkan hal-hal yang berhubungan dengan produk
makanan. Kita kembali tersadar apabila mendengar si Fulan meninggal akibat
keracunan produk makanan X. Berapa banyak sebenarnya korban akibat mengkonsumsi
produk yang bermasalah, tentu ini memerlukan penelitian yang mendalam,
diakibatkan banyaknya korban yang tidak ter-ekpose oleh media cetak dan media
elektronik.
Pentingnya optimalisasi peran bersama antara Badan Pengawasan
Obat dan Makanan (BPOM) dengan berbagai lembaga terkait untuk melakukan pengawasan
terhadap produk makanan kadaluarsa, produk berformalin dan berkeqamasan rusak
terutama pada saat menjelang Ramadhan dan lebaran. Lembaga terkait ini mempuyai
peran yang strategis dalam penanggulangan makanan dan obat-obatan yang kadaluarsa,
berformalin dan berkemasan rusak, misalnya dilibatkannya lembaga
Kepolisian dan Dinas Perindustrian dan
Perdagangan (Disperindag) yang tersebar Kabupaten/Kota Provinsi guna untuk melakukan penyitaan dan
pencabutan izin usaha apabila ketentuan keamanan mengenai pengan dilanggar.
Operasi pasar secara sebagai salah satu upaya untuk meminimalisir penyimpangan
dan tindak pidana yang dilakukan dalam perdagangan. Upaya ini tentu sangat
berpengaruh terhadap intensitas peredaran produk makanan yang bermasalah.
BPOM harus senantiasa mengembangkan
pemantauan dan pengawasan terhadap makanan dan obat-obatan yang beredar luas di
masyarakat. Pencegahan sejak dini harus dilakukan agar tidak ada korban.
Program-program BPOM juga harus berintegrasi agar hasilnya juga maksimal. Sebagai lembaga yang berwenang dalam melakukan
pengawasan obat dan makanan BPOM diharapkan memiliki kebijakan strategis dan
tindakan kongkrit yang langsung menyentuh ke masyarakat. Permasalahan makanan
kadaluwarsa bukan hanya menjadi isu kelas menengah ke atas, namun hampir
menyentuh seluruh lapisan masyarakat, dan tak jarang, masyarakat yang menengah
ke bawah lah yang sering menjadi korban.
Kewenangan
terbesar penertiban makanan bermasalah ada di BPOM, disamping lembaga lain yang
juga berwenang. Untuk itu diharapkan BPOM mengambil inisiatif untuk koordinasi
dengan instansi lain, meskipun harus diakui terkadang ada kendala teknis
pengawasan terkait tugas pokok dan fungsi masing-masing instansi.
Begitupun lanjutnya, dalam situasi frekuensi
transaksi kebutuhan pokok begitu melonjak dan tingkat kehati-hatian masyarakat
menurun, maka BPOM dan instansi lain perlu memperkuat koordinasi pengawasan.
Bagaimanapun masih adanya dugaan makanan
kadaluarsa di pasaran atau pusat perbelanjaan perlu perhatian serius dari
pemerintah. Artinya jangan sampai masyarakat dirugikan (Tribunnews Banjarmasin, 3/7/2012).
Untuk mengatasi
maraknya peredaran makanan yang kadaluarsa, berformalin dan berkemasan rusak, Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dalam Pasal 111 ayat (1) menyatakan bahwa
makanan dan minuman yang digunakan masyarakat harus didasarkan pada standar
dan/atau persyaratan kesehatan. Terkait hal tersebut di atas, Undang-Undang
tersebut menjelaskan bahwa makanan dan minuman yang tidak memenuhi ketentuan
standar, persyaratan kesehatan, dan/atau membahayakan kesehatan dilarang untuk
diedarkan, ditarik dari peredaran, dicabut izin edar dan disita untuk
dimusnahkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Untuk itu kita berharap semoga BPOM dapat
melakukan penertiban terhadap produk makanan yang ditenggarai bermasalah dan
berpotensi menimbulkan korban jiwa.
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi,
dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota pada Bidang Kesehatan - sub bidang Obat
dan Perbekalan Kesehatan, mengamanatkan bahwa pengawasan dan registrasi makanan
minuman produksi rumah tangga merupakan urusan pemerintahan yang wajib
diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Tanggung jawab ini
tentunya dapat dilaksanakan dengan sebaik mungkin, tanpa mengorbankan salah
satu pihak (pihak konsumen dan pelaku usaha).
Dalam penjelasan Undang-Undang No. 8 Tahun
1999 Tentang Perlindungan Konsumen, disebutkan bahwa Faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah
tingkat kesadaran konsumen akan haknya masih rendah. Hal ini terutama
disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen. Oleh karena itu, Undang-undang
Perlindungan Konsumen dimaksudkan menjadi landasan hukum yang kuat bagi
pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat unluk melakukan
upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen. Mengenai sanksi pidana dalam Undang-undang
ini dapat dilihat dalam Pasal 62 mengenai pelaku usaha dan/atau pengurus yang
melakukan tindak pidana, dengan pidana denda paling banyak sebesar 500 juta
rupiah dan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun serta sanksi administratif
berupa ganti rugi paling banyak 200 juta rupiah.
Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 62, dapat dijatuhkan hukuman tambahan yang diatur dalam Pasal 63, berupa:
perampasan barang tertentu; pengumuman keputusan hakim; pembayaran ganti rugi; perintah
penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen; kewajiban
penarikan barang dari peredaran; atau pencabutan izin usaha. Untuk itu perlu diterapkan sanksi hukum pidana dan
administrasi kepada mereka yang sengaja mengedarkan dan menjual produk makanan
bermasalah.
Sekecil apapun sanksi
yang diberikan tetap penting ditegakkan agar masyarakat lebih aman dan nyaman
menjalani puasa dan lebaran. Intinya, perlu adanya pengawasan pangan terhadap pangan
kedaluarsa, pangan ilegal, label, pangan rusak, dan lain-lain termasuk
pengawasan penggunaan bahan berbahaya dalam pangan. BPOM dalam hal ini dapat
memberikan informasi yang dibutuhkan masyarakat serta pengawasan yang
berkelanjutan kedepannya.
Menyikapi kondisi saat ini maka konsumen harus jeli dan
hati-hati dalam berbelanja. Misanya menyangkut keamanan pangan yang mempunyai
efek samping (side effect) sangat
berbahaya dan merugikan masyarakat apabila keamanan pangan tidak dikontrol
(manajemen kontrol) yang baik. Untuk itu maka Badan Pengawasan Obat dan Makanan
(BPOM) bersama lembaga terkait harus diusahakan maksimal sehingga keselamatan
dan kesehatan konsumen dapat terjamin. Semoga saja BPOM dan lembaga terkait
lainnya dapat berkerja professional demi tercapainya keamanan pangan yang layak
konsumsi.
Penulis: Yusrizal, S.H.M.H.
Dosen Hukum Pidana dan Kriminologi
Fakultas Hukum Universitas
Malikussaleh-Lhokseumawe
Tidak ada komentar:
Posting Komentar