Senin, 21 Januari 2013

Keamanan Pangan dan Peran BPOM


Penemuan makanan yang kadaluarsa dan tidak memiliki izin edar cenderung meningkat pada bulan puasa dan hari raya. Peningkatan itu mencapai dua kali lipat. Hasil pengawasan rutin yang dilakukan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) sepanjang Tahun 2011 ditemukan 42.000 makanan yang tidak berizin edar dan 26.000 makanan kadaluarsa. Jumlah itu melonjak menjadi 80.000 makanan yang beredar tanpa izin dan 49.000 makanan kadaluarsa saat pengawasan ditingkatkan pada bulan puasa dan hari raya 2011. Tentu jumlah ini apabila diawasi secara terpadu maka jumlah pasti akan meningkat tajam. Untuk itu pengawasan BPOM sangat menjadi sangat penting. (Kompas, 19/7/2012)
Umumnya makanan yang tanpa izin berasal dari negara lain yang bebas masuk melalui daerah perbatasan dan pelabuhan tikus. Sedangkan untuk makanan kadaluarsa atau tak tak terdaftar banyak ditemukan dalam produksi usaha kecil dan menengah yang menjadi tumpuan perekonomian rakyat.  Mungkin tidak salah apabila prinsip kehati-hatian dalam setiap kita berbelanja. Dalam hal ini perlunya pembinaan oleh pemerintah daerah dan pengawasan berkelanjutan dari BPOM akan membantu masyarakat, sehingga implementasi perlindungan hukum terhadap konsumen dan pelaku usaha benar-benar tercapai.
Berdasakan gambaran diatas memberikan dasar bahwa peredaran produk makanan bermasalah teryata berdampak luas terhadap kemaslahatan kehidupan masyarakat, tanpa kita sadari bahwa perilaku sehari-hari sering meremehkan hal-hal yang berhubungan dengan produk makanan. Kita kembali tersadar apabila mendengar si Fulan meninggal akibat keracunan produk makanan X. Berapa banyak sebenarnya korban akibat mengkonsumsi produk yang bermasalah, tentu ini memerlukan penelitian yang mendalam, diakibatkan banyaknya korban yang tidak ter-ekpose oleh media cetak dan media elektronik.
Pentingnya optimalisasi peran bersama antara Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) dengan berbagai lembaga terkait untuk melakukan pengawasan terhadap produk makanan kadaluarsa, produk berformalin dan berkeqamasan rusak terutama pada saat menjelang Ramadhan dan lebaran. Lembaga terkait ini mempuyai peran yang strategis dalam penanggulangan makanan dan obat-obatan yang kadaluarsa, berformalin dan berkemasan rusak, misalnya dilibatkannya lembaga Kepolisian  dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) yang tersebar Kabupaten/Kota  Provinsi guna untuk melakukan penyitaan dan pencabutan izin usaha apabila ketentuan keamanan mengenai pengan dilanggar. Operasi pasar secara sebagai salah satu upaya untuk meminimalisir penyimpangan dan tindak pidana yang dilakukan dalam perdagangan. Upaya ini tentu sangat berpengaruh terhadap intensitas peredaran produk makanan yang bermasalah.
BPOM harus senantiasa mengembangkan pemantauan dan pengawasan terhadap makanan dan obat-obatan yang beredar luas di masyarakat. Pencegahan sejak dini harus dilakukan agar tidak ada korban. Program-program BPOM juga harus berintegrasi agar hasilnya juga maksimal. Sebagai lembaga yang berwenang dalam melakukan pengawasan obat dan makanan BPOM diharapkan memiliki kebijakan strategis dan tindakan kongkrit yang langsung menyentuh ke masyarakat. Permasalahan makanan kadaluwarsa bukan hanya menjadi isu kelas menengah ke atas, namun hampir menyentuh seluruh lapisan masyarakat, dan tak jarang, masyarakat yang menengah ke bawah lah yang sering menjadi korban.
Kewenangan terbesar penertiban makanan bermasalah ada di BPOM, disamping lembaga lain yang juga berwenang. Untuk itu diharapkan BPOM mengambil inisiatif untuk koordinasi dengan instansi lain, meskipun harus diakui terkadang ada kendala teknis pengawasan terkait tugas pokok dan fungsi masing-masing instansi. Begitupun lanjutnya, dalam situasi frekuensi transaksi kebutuhan pokok begitu melonjak dan tingkat kehati-hatian masyarakat menurun, maka BPOM dan instansi lain perlu memperkuat koordinasi pengawasan. Bagaimanapun masih adanya dugaan makanan kadaluarsa di pasaran atau pusat perbelanjaan perlu perhatian serius dari pemerintah. Artinya jangan sampai masyarakat dirugikan (Tribunnews Banjarmasin, 3/7/2012).
Untuk mengatasi maraknya peredaran makanan yang kadaluarsa, berformalin dan berkemasan rusak, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dalam Pasal 111 ayat (1) menyatakan bahwa makanan dan minuman yang digunakan masyarakat harus didasarkan pada standar dan/atau persyaratan kesehatan. Terkait hal tersebut di atas, Undang-Undang tersebut menjelaskan bahwa makanan dan minuman yang tidak memenuhi ketentuan standar, persyaratan kesehatan, dan/atau membahayakan kesehatan dilarang untuk diedarkan, ditarik dari peredaran, dicabut izin edar dan disita untuk dimusnahkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Untuk itu kita berharap semoga BPOM dapat melakukan penertiban terhadap produk makanan yang ditenggarai bermasalah dan berpotensi menimbulkan  korban jiwa.
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota pada Bidang Kesehatan - sub bidang Obat dan Perbekalan Kesehatan, mengamanatkan bahwa pengawasan dan registrasi makanan minuman produksi rumah tangga merupakan urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Tanggung jawab ini tentunya dapat dilaksanakan dengan sebaik mungkin, tanpa mengorbankan salah satu pihak (pihak konsumen dan pelaku usaha).
Dalam penjelasan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, disebutkan bahwa Faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran konsumen akan haknya masih rendah. Hal ini terutama disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen. Oleh karena itu, Undang-undang Perlindungan Konsumen dimaksudkan menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat unluk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen. Mengenai sanksi pidana dalam Undang-undang ini dapat dilihat dalam Pasal 62 mengenai pelaku usaha dan/atau pengurus yang melakukan tindak pidana, dengan pidana denda paling banyak sebesar 500 juta rupiah dan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun serta sanksi administratif berupa ganti rugi paling banyak 200 juta rupiah.
Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, dapat dijatuhkan hukuman tambahan yang diatur dalam Pasal 63, berupa: perampasan barang tertentu; pengumuman keputusan hakim; pembayaran ganti rugi; perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen; kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau pencabutan izin usaha. Untuk itu perlu diterapkan sanksi hukum pidana dan administrasi kepada mereka yang sengaja mengedarkan dan menjual produk makanan bermasalah.
Sekecil apapun sanksi yang diberikan tetap penting ditegakkan agar masyarakat lebih aman dan nyaman menjalani puasa dan lebaran. Intinya, perlu adanya pengawasan pangan terhadap pangan kedaluarsa, pangan ilegal, label, pangan rusak, dan lain-lain termasuk pengawasan penggunaan bahan berbahaya dalam pangan. BPOM dalam hal ini dapat memberikan informasi yang dibutuhkan masyarakat serta pengawasan yang berkelanjutan kedepannya.
Menyikapi kondisi saat ini maka konsumen harus jeli dan hati-hati dalam berbelanja. Misanya menyangkut keamanan pangan yang mempunyai efek samping (side effect) sangat berbahaya dan merugikan masyarakat apabila keamanan pangan tidak dikontrol (manajemen kontrol) yang baik. Untuk itu maka Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) bersama lembaga terkait harus diusahakan maksimal sehingga keselamatan dan kesehatan konsumen dapat terjamin. Semoga saja BPOM dan lembaga terkait lainnya dapat berkerja professional demi tercapainya keamanan pangan yang layak konsumsi.
Penulis: Yusrizal, S.H.M.H.
Dosen Hukum Pidana dan Kriminologi
Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh-Lhokseumawe

Tidak ada komentar:

Posting Komentar