Hutan merupakan rahmat dan karunia dari sang pencipta, maka
pengelolaan dan perlindungannya sangat ditentukan oleh keberadaan manusia
sebagai khalifah dimuka bumi ini. Hutan di Aceh
harus dilindungi dan dikelola dengan baik berdasarkan asas tanggung
jawab, asas keberlanjutan, dan asas keadilan. penghargaan terhadap kearifan
lokal dan kearifan lingkungan sangat mendukung dalam upaya penyelamatan hutan yang
dilandasi dengan semangat kultur masyarakat yang terlembaga dengan baik.
Permasalahan perlindungan hutan di
Provinsi Aceh bukan hanya menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah Aceh, tetapi
menjadi tanggung bersama masyarakat Aceh. Tentu kita ingat bagaimana usaha dan
perjuangan para Indatu (nenek moyang) kita terdahulu melindungi hutan dengan baik sehingga
keberadaan hutan saat ini masih tetap eksis, mereka menjaga hutannya dengat
adat yang dipatuhi dengan jiwa kebersamaan, aturannya juga tidak tertulis, tapi
mengapa mereka patuh?, kepatuhan
tersebut dilandasi dengan latar belakang yang disadari bahwa sumber daya
alam di dunia ini mempunyai kedudukan serta peranan penting bagi kehidupan,
yang harus dikelola dan dimanfaatkan secara lestari, selaras dan seimbang bagi
kesejahteraan rakyat untuk masa kini dan masa yang akan datang.
Akibat dari salah pengeloaan hutan
tersebut maka keberadaan dan perlindungan hutan sudah pada
tahap mengkhawatirkan. Karena pada dasarnya adat peulara uteun sangat
dibutuhkan sebagai upaya perlindungan generasi dimasa depan. Tentu kita
tidak ingin banjir bandang akan selalu menjadi pemandangan disaat hutan tidak
lagi bersahabat dengan manusia akibat kerakusan manusia yang tanpa henti.
Sebagai pembatas, maka Adat peulara uteun
(adat memelihara dan melindungi hutan) berfungsi sebagai aturan yang membatasi
perilaku manusia untuk melakukan eksplorasi dan tindakan-tindakan lain
berpotensi rusaknya hutan.
Menurut pemikiran Fritjof Capra dan
Edward O. Wilson dalam Satjipto Rahardjo menjelaskan bahwa, perkembangan sains
dan kearifan manusia dewasa ini sudah sampai pada suatu titik sedemikian rupa
sehingga melihat kehidupan sebagai suatu kesatuan kehidupan yang otentik.
Menurut Capra, untuk tumbuh menjadi suatu masyarakat yang mampu mempertahankan
kelangsungan hidup dengan baik “ sustainable
community”, maka tidak ada jalan lain kecuali memelihara dan menjaga agar
kesatuan kehidupan tidak terganggu. Hanya dengan memelihara kesatuan tersebut (dalam
hal ini adat peulara uteun) kehidupan
di dunia dapat terhindar dari kehancuran.
Adat
peulara uteun sebagai penyelamatan
hutan dan pelestarian sumber daya alam dapat dalam pelaksanaannya sangat
dipengaruhi oleh: Pertama,
pengetahuan masyarakat mengenai hakikat hutan dan fungsinya, sehingga apabila
pengetahuan masyarakat minim dan serta apatis terhadap kelangsungan hidup hutan
maka yang terjadi adalah penebangan liar (illegal
logging) tanpa batas yang saat ini
kerap terjadi. Walaupun moratorium tentang penebangan hutan dibatasi, akan
tetapi masyarakat tetap bersikeras dengan dalih sebagai sumber pencaharian. Kedua, pemahaman yang signifikan
terhadap kondisi hutan saat ini harus menjadi perhatian, karena Provinsi Aceh
dapat dikatakan darurat ekologis yang ditimbulkan oleh kegiatan industri atau
sejenisnya dalam menjalankan usaha dan baik yang dilakukan oleh penguasa maupun
oleh pengusaha. Ketiga, sikap
masyarakat terhadap ketentuan hukum yang mengatur mengenai kehutanan baik yang
dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun daerah terkesan tidak dipatuhi dengan
baik, alhasil perlindungan mengenai kelestarian hutan tidak terimplementasi
dengan baik.
Maka berdasarkan deskripsi singkat diatas maka
seyogiyanya hutan dipelihara dengan baik dan mendapat perhatian serius dari
seluruh komponen masyarakat agar hutan yang ada saat ini bisa dinikmati oleh
anak cucu kita dimasa yang akan datang. Peran serta masyarakat dalam
perlindungan dan pengembangan fungsi hutan sebagaimana mestinya merupakan
tanggung jawab bersama, untuk itu maka, keberadaan manusia terhadap
lingkungannya menjadi khalifah yang bisa membuat rahmat bagi sekalian alam…..
Penulis:
Yusrizal, S.H. M.H.
Pendiri Lembaga Kajian dan Konsultasi
Hukum (LKKH) di Lhokseumawe
Terima kasih tulisan tersebut
BalasHapus