Oleh: Yusrizal, S.H., M.H.
A.
Pengertian
Dari sudut sejarah
sosiologi hukum untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh seorang Italia yang
bernama Anzilotti pada Tahun 1882. Sosilogi hukum lahir dari
pemikiran-pemikiran:
1. Perseorangan terdiri dari:
·
Filsafat hukum
·
Sosiologi
·
Ilmu hukum
2. Kolektif terdiri-dari:
·
Mazhab-mazhab/aliran
Menurut M.
Rehbinder sosiologi hukum merupakan cabang dari 2 (dua) ilmu: hukum dan
sosiologi. Alasannya:
1. Hukum didasarkan pada kehidupan sosial
2. Hukum mengatur kehidupan sosial
3. Hukum merupakan bagian dari sistem pengaturan sosial.
Suryono Soekanto
dan Satjipto Rahardjo mendefinisikan sosiologi hukum sebagai ilmu yang
mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dan masyarakat. Objek yang
menjadi sasaran studi sosiolgi hukum adalah pengoganisasian sosial hukum. Objek
sasaran disini adalah badan-badan yang terlibat dalam penyelenggaraan hukum,
misalnya: pembuatan undang-undang, pengadilan, polisi, advokat.
Sosiologi Hukum
ialah: Ilmu pengetahuan tentang interaksi manusia yang berkaitan dengan hukum dalam
kehidupan bermasyarakat. Sosiologi hukum menyelidiki fakta lain yang tidak
diselidiki oleh ilmu hukum, antara lain perikelakuan hukum, meneliti perubahan
sosial (social change) atau
sebaliknya perubahan/pembaharuan hukum (change
of law).
B. Ruang Lingkup Sosiologi
Hukum
Adapun
ruang lingkup sosiologi hukum secara umum adalah hubungan antara hukum dengan
gejala-gejala sosial sehingga membentuk kedalam suatu lembaga sosial (social institutions) yang merupakan himpunan
nilai-nilai, kaidah-kaidah dan pola-pola perikelakuan yang berkisar pada
kebutuhan-kebutuhan pokok manusia yang hidup di masyarakat dan atau dalam
lingkup proses hukumnya (law in actions)
bukanlah terletak pada peristiwa hukumnya (law
in the books).
Menurut
Purbacaraka dan Soerjono Soekanto dalam bukunya berjudul menelusuri sosiologi hukum
negara, bahwa ruang lingkup sosiologi hukum adalah hubungan timbal balik atau
pengaruh timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala sosial lainnya yang
dilakukan secara teoretis analitis maupun secara empiris terhadap fenomena
sosial hukum yang senyatanya hidup didalam masyarakat, yang diartikan sebagai
hukum dalam ruang lingkup tersebut adalah suatu kompleks daripada sikap tindak
manusia yang mana bertujuan untuk mencapai kedamaian dalam pergaulan hidup.
C. Karakteristik Sosiologi
Hukum
Berangkat
dari perkembangan hukum sebagai fakta sosial yang mana senyatanya hidup dan
berakar dalam masyarakat, maka sosiologi hukum bertujuan paling tidak antara
lain:
1.
Untuk memberikan penjelasan
atau pencerahan terhadap proses praktik-praktik hukum. Apakah praktek itu
dibedakan dalam pembuatan undang-undang, penerapan pengadilan, ia juga
mempelajari bagaimana praktek itu terjadi masing-masing bidang kegiatan hukum
tersebut. Dalam hal ini, sosiologi hukum berusaha untuk menjelaskan mengapa
praktek yang demikian terjadi, sebab-sebabnya, faktor-faktor yang
mempengaruhinya, latar belakangnya. Dengan demikian, mempelajari sosiologi
hukum secara sosiologis adalah menyelidiki tingkah laku orang dalam bidang
hukum, baik yang sesuai dengan hukum maupun yang menyimpang dari hukum.
2.
Sosiologi hukum juga mempunyai
dimensi yang senantiasa menguji kesahihan proses empiris (empirical validity). Sifat khas yang muncul disini adalah mengenai
bagaimana kenyataanya peraturan itu, apakah kenyataannya seperti yang tertera
dalam bunyi peraturan atau tidak.
3.
Satu hal yang terpenting
adalah karena sosiologi hukum tidak berada pada tataran hukum sebagai fakta
hukum (law in books), maka sosiologi
hukum tidaklah melakukan penilaian terhadap hukum (tidak membenarkan dan atau
tidak menyalahkan suatu hukum).
D. Fungsi hukum dalam masyarakat yaitu:
- Law as tool of social control ( sebagai sosial kontrol)
Dalam Law as social control ( sebagai sosial kontrol) hukum hanya menjaga
ketertiban masyarakat agar setiap orang menjalankan peranannya sebagaimana yang
telah ditentukan sehingga dapat
dikatakan fungsi hukum di sini “statis”. Hukum berfungsi apabila masyarakat
telah menjalankan peranannya sebaik-baiknya.
2.
Law as a tool of social
engineering (alat rekayasa sosial).
Dalam Law as a tool of social engineering (alat rekayasa sosial), hukum
berfungsi dinamis, bukan saja meneguhkan pola-pola yang telah ada melainkan
berfungsi untuk menciptakan hubungan-hubungan atau hal-hal baru bahkan hukum
diarahkan untuk menciptakan perubahan-perubahan
dalam masyarakat menuju yang diinginkan.
Fungsi-Fungsi
Hukum:
1. Menetapkan hubungan-hubungan antara para anggota
masyarakat, dengan menunjukkan jenis tingkah laku yang diperkenankan dan yang
dilarang
2. Menentukan pembagian kekuasaan
3. Menyelesaikan sengketa
4. Memelihara kemampuan masyarakat untuk menyesuaikan
diri dengan kondisi-kondisi kehidupan yang berubah.
5. Sebagai kontrol sosial
Setiap proses pembentukan hukum serta
perubahan-perubahannya tidak boleh
bertentangan dengan cita hukum yang telah disepakati. Cita hukum harus dipahami
sebagai dasar sekaligus pengikat dalam pembentukan hukum.
Hukum Sebagai Alat
Kejahatan
Law as a tool of crime, perbuatan jahat dengan menggunakan hukum sebagai alatnya sulit
dilacak karena diselubungi oleh hukum dan berada dalam hukum.
®
Judicial
activism
-
Kecenderungan
hakim mengembangkan atau memperluas pengertian hukum dan peraturan konstitusi
yang berlaku dengan gunakan interpretsi hukum menurut pendapatnya;
-
Kecendrungan
para penegak hukum untuk mengarah ke upaya memperluas/mempersempit pengertian
peraturan hukum dan ketetapan konstitusi diluar kehendak pembuat peraturan
hukum & ketetapan tersebut.
Pembentukan
dan Perkembangan Hukum
a.
hukum yang baik dibentuk
dengan mempertimbangkan berbagai kepentingan yang ada dalam masyarakat baik
kepentingan umum (termasuk yang utama adalah kepentingan negara), kepentingan
individu dan kepentingan kepribadian;
b.
dengan demikian pembentukan
hukum harus berupaya menyeimbangkan berbagai kepentingan tersebut ;
c.
Kepentingan umum yang terutama
adalah kepentingan negara untuk melindungi eksistensi dan hakikat negara dan
kepentingan untuk mengawasi dan memajukan kesejahteraan sosial).
d.
Pembentukan hukum harus
memperhatikan hukum yang hidup. Terdapat perimbangan antara hukum tertulis dan
hukum tidak tertulis.
e.
perkembangan hukum sangat
dipengaruhi oleh kondisi ideologi, politik, sosial dan budaya. Jadi, tidak
hanya sekedar keinginan pemerintah
Tugas
Utama Hukum
§ Tugas
utama hukum adalah rekayasa sosial (law as tool of social engineering,
Roscoe Pound)
§ hukum
tidak saja dibentuk berdasarkan kepentingan masyarakat tetapi juga harus
ditegakkan sedemikian rupa oleh para yuris sebagai upaya sosial kontrol dalam
arti luas yang pelaksanaannya diorientasikan kepada perubahan-perubahan yang
dikehendaki
§ Oleh
karena hukum sangat dipengaruhi oleh komponen-komponen di luar hukum, maka para
penegak hukum dalam mewujudkan tugas utama hukum harus memahami secara benar
logika, sejarah, adat istiadat, pedoman prilaku yang benar agar keadilan dapat
ditegakkan.
Menurut
Daniel S. Lev mengatakan bahwa, bukan hukum itu tidak otonom tetapi juga
kadang- kadang hukum itu simbolistis mewakili pimpinan sosial politik. Yang
paling dasar dalam perubahan sosial bukan hukum sendiri, tetapi pemakaian alat
alat kekuatan, kekuasaan, hukum dan lain lain yang ada oleh pimpinan sosial dan
politik. Peranan hukum dalam hal ini ialah sebagai suatu idiologi, yaitu orang
mendapat jaminan, kepastian bahwa mereka tidak dapat diperlakukan
sewenang-wenang oleh pihak lain. yang paling penting dalam perubahan sosial
tidak dilakukan oleh hukum, melainkan oleh pimpinan sosial dan politik di sini
termasuk juga hakim, jaksa, advokat. Hukum sendiri tidak dapat menentukan
perubahan sosial, perubahan politik, perubahan ekonomi; itu tergantung kepada
kekuasaan dan kekuatan dalam masyarakat sendiri. Hukum peranannya tidak
langsung dalam perubahan sosial, ia hanya memberi kerangka idiologis dalam
perubahan perubahan sosial yang dikehendaki, yaitu jaminan orang akan
diperlakukan secara fair.
Ini amat penting, karena tanpa jaminan ini,
perubahan perubahan sosial yang dikehendaki dalam masyarakat hampir tidak
mungkin, karena orang tidak percaya kepada negara, kepada struktur dalam
masyarakat, atau kepada apa saja.
Kesadaran
hukum sangat dipengaruhi oleh:
1.
Pengetahuan
hukum;
2.
Pemahaman
hukum;
3.
Sikap
terhadap hukum, dan
4.
Perilaku
hukum.
Syarat
hukum yang rasional menurut ahli filsafat:
- Hukum tidak saja wajib mendorong
rasionalitas masyarakat, tetapi justru hukum itu sendiri harus rasional
- Agar hukum yang rasional itu mampu
mewujudkan tujuannya, maka mutlak harus didukung oleh aparatur penegak
hukum yang mampu bertindak efisien
- Susbstansi hukumnya sesuai dengan
struktur masyarakat tempat dimana hukum akan mewujudkan tujuannya.
- Moral berperan penting untuk
terwujudnya hukum yang lebih rasional.
Kebanyakan
aparat penegak hukum mereduksi pemahaman bahwa menegakkan hukum diartikan sama dengan menegakkan undang-undang. Pemahaman ini membawa implikasi bahwa hukum (undang-undang) menjadi pusat perhatian. Padahal, masalah penegakan hukum tidak
dapat hanya dilihat dari kaca mata undang-undang saja, tetapi harus
dilihat secara utuh dengan melibatkan semua unsur yang ada, seperti
moral, perilaku, dan budaya. Oleh karena itu, perlu orientasi dan cara
pandang baru dalam penegakan hukum.
Aliran-Aliran Pemikiran Yang
Mempengaruhi Terbentuknya
Sosiologi Hukum
A.
Pendahuluan
Beberapa hal yang menjadi penyebab mengapa
beberapa tokoh atau ahli hukum melibatkan diri dalam pemikiran filsafat atau
ahli hukum melibatkan diri dalam pemikiran filsafat hukum dan ilmu hukum.
Soerjono Soekanto mengungkapkan beberapa penyebab para tokoh atau para ahli
hukum tersebut menerjunkan diri dalam bidang filsafat hukum antara lain; lantaran
timbulnya kebimbangan akan kebenaran dan keadilan dari hukum yang berlaku,
timbulnya berbagai pendapat ketidakpuasan terhadap hukum yang berlaku. Karena
hukum tersebut tidak lagi sesuai dengan keadaan masyarakat yang justru diatur
oleh hukum itu, timbulnya ketegangan antara hukum yang berlaku dengan filsafat,
karena adanya perbedaan antara dasar-dasar dari hukum yang berlaku dengan
pemikiran filsafat. Soerjono Soekanto
mengakui hal tersebut diatas bahwa isi dari peraturan-peraturan yang berlaku
tidaklah lagi dianggap adil dan tidak dapat dipergunakan sebagai ukuran untuk
menilai perilaku dan atau tindakan orang.
Dari paparan singkat diatas filsafat hukum
menurut soekanto adalah bertujuan untuk menjelaskan nilai-nilai dan juga
dasar-dasar hukum sampai kepada dasar-dasar filsafatnya. Inilah beberapa mazhab
atau pemikiran yang melatarbelakangi terbentuknya sosiologi hukum:
1.
Mazhab Formalistis
Tokoh terpenting dalam mazhab ini adalah Jhon Austin (1790-1859), ia mengatakan
bahwa: hukum merupakan perintah dari mereka yang memegang kekuasan tertinggi (law is command of the lawgivers), atau
dari yang memegang kedaulatan. Menurut Austin, hukum adalah perintah yang
dibebankan untuk mengatur mahluk berfikir, perintah mana yang dilakukan oleh
mahluk berfikir yang memegang dan mempunyai kekuasaan. Austin menganggap hukum
sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup dan karena
ajarannya dinamakan Analitical
Jurisprudence. Ajaran Austin kurang/tidak member tempat bagi hukum yang
hidup dalam masyarakat.
Austin membagi hukum dalam 2 (dua) bagian:
1. Hukum yang diciptakan oleh Tuhan untuk manusia
2. Hukum yang dibuat dan disusun oleh manusia,
hukum ini terbagi lagi menjadi 2 (dua) bagian:
a. Hukum yang sebenarnya; hukum yang tepat
disebut sebagai hukum, jenis hukum ini disebut juga sebagai hukum positif. Hukum
yang sebenarnya mengandung: perintah, sanksi, kewajiban dan kedaulatan. Hukum
yang sebenarnya terbagi 2 (dua):
·
Hukum yang dibuat
oleh penguasa seperti undang-undanf, peraturan pemerintah dan lain-lain.
·
Hukum yang dibuat
atau disusun oleh rakyat secara individual yang dipergunakan untuk melaksanakan
hak-hak yang diberikan kepadanya, misalnya: hak kurator terhadap badan/orang
dalam kuratele atau hak wali terhadap orang yang berada dibawah perwalian.
b. Hukum yang tidak sebenarnya; adalah bukan
hukum yang merupakan hukum yang secara langsung berasal dari penguasa, tetapi
peraturan-peraturan yang berasal dari perkumpulan-perkumpulan atau badan-badan
tertentu.
Tokoh yang kedua adalah Hans Kelsen (1881), dari unsur sosiologis berarti bahwa ajaran Hans
Kelsen tidak memberi tempat bagi hukum kebiasaan yang hidup dan berkembang
didalam masyarakat. ajaran Kelsen memandang hukum sebagai sollen yuridis semata-mata yang sama sekali terlepas dari das sein/kenyataan sosial. Hukum
merupakan sollens kategori (seharusnya) dan bukan seins kategori (adanya):
orang menaati hukum karena ia merasa wajib untuk mentaatinya sebagai suatu
kehendak negara. hukum itu tidak lain merupakan suatu kaidah ketertiban yang
menghendaki orang menaatinya sebagaimana seharusnya.
Ajaran stufen theory berpendapat bahwa suatu sistem hukum adalah suatu
hierarkhis dari hukum dimana suatu ketentuan hukum tertentu bersumber pada
ketentuan hukum lainnya yang lebih tinggi adalah grundnorm atau norma dasar. Ringkasnya
ajaran Kelsen ini adalah:
·
Hukum adalah
suatu keharusan yang mengatur tingkah laku manusia sebagai mahluk rasional.
·
Hukum tidak
mempersoalkan “bagaimana hukum seharusnya” (what the law ought to be),
tetapi “apa hukumnya” (what the law is).
·
Hukum tidak lain
adalah kemauan negara, namun orang taat kepada hukum bukan karena negara
menghendakinya, tetapi karena ia merasa wajib mentaatinya sebagai perintah
negaranya.
·
Bagi Kelsen Hukum
berurusan dengan bentuk (forma), bukan dengan isi (materia).
·
Suatu hukum dapat
saja tidak adil, namun tetap saja merupakan hukum karena dikeluarkan oleh
penguasa.
·
Keadilan sebagai
isi hukum berada di luar hukum.
·
Kelsen dipandang
sebagai tokoh pencetus Teori Jenjang (Stufentheorie), yang semula
diperkenalkan oleh Adolf Merkl.
·
Hukum adalah
suatu sistem yang terdiri dari susunan norma berbentuk piramida. Norma yang
lebih rendah memperoleh kekuatannya dari suatu norma yang lebih tinggi.
·
Semakin tinggi suatu
norma, maka akan semakin abstrak sifatnya, sebaliknya semakin rendah suatu
norma, maka akan semakin konkrit.
2.
Mazhab Sejarah dan Kebudayaan
Mazhab sejarah dan kebudayaan ini adalah
senyatanya mempunyai pemikiran yang bertentangan dengan mazhab formalisme.
Dalam hal ini mazhab sejarah dan kebudayaan menekankan bahwasanya hukum hanya
dapat dimengerti dengan menelaah kerangka sejarah dan kebudayaan dimana hukum
tersebut timbul.
Beberapa pemikir mazhab ini, antara lain Friedrich Karl von Savigny (1779-1861)
berasala dari jerman, tokoh ini juga ini dianggap sebagai pemuka sejarah hukum
(bahkan Georges Gurvitch menyatakan Savigny dan Puhcha adalah peletak dasar
mazhab sejarah ini). Ia berpendapat bahwa hukum merupakan perwujudan dari
kesadaran hukum masyarakat (valksgeist).
Yang mana semua hukum berasal dari adat istiadat dan kepercayaan serta bukan
berasal dari pembentukan undang-undang. Ringkasnya
pendapat Savigny yaitu:
·
Hukum adalah
suatu produk dari kekuasaan yang tidak disadari (unconscious force).
·
Hukum beroperasi
secara diam-diam di tengah masyarakat.
·
Sumber utama
hukum adalah adanya kesetiaan dari anggota masyarakat, kebiasaan dan kesadaran
dari anggota masyarakat.
·
Di setiap
masyarakat, tradisi dan kebiasaan tertentu yang secara terus menerus
dipraktekkan berkembang menjadi peraturan hukum dan diakui oleh organ-organ
negara.
Tokoh lain dalam mazhab ini adalah Sir Henry Maine (1822-1888), ia
mengatakan bahwa perkembangan hukum dari status kontrak yang sejalan dengan
perkembangan masyarakat yang mana masih sederhana kepada masyarakat yang
senyatanya sudah modern dan kompleks serta kaidah-kaidah hukum yang ada pada
masyarakat sederhana secara berangsur-angsur akan hilang dan berkembang kepada
kaidah-kaidah hukum sudah modern dan kompleks.
Mazhab ini membangun kajian-kajian adaptif
atas masyarakat yang relatif bersifat statis homogen, dengan masyarakat yang
komplek (modern), dinamis dan relatif heterogen. Sehingga sangat membantu dalam
perkembangan bahkan memprediksi bangunan sosiologi hukum baik secara teoritis
maupun secara aplikatif. Sehingga apa yang dikatakan Satjipto Rahardjo bahwa benturan-benturan antara hukum dan negara dengan
masyarakat dengan segala budayanya yang lebih alami memang tidaklah dapat
dihindari, apalgi suatu negara dan bangsa yang sangat majemuk (seperti
Indonesia), makanya agar proses hukum itu tidak dibatasi sebagai proses hukum,
melainkan sebagaimana ditegaskan Satjipto Rahardjo adalah juga proses sosial.
3.
Aliran Utilitarianisme
Prinsip aliran ini adalah bahwa masyarakat bertindak
untuk memperbanyak kebahagiaan dan mengurangi penderitaan. Sebagaimana yang
diungkapkan oleh Jeremy Bentham
(1748-1832) yaitu:
“Dalam teorinya tentang hukum, Bentham
menggunakan salah satu prinsip dari aliran utilitarianisme yakni bahwa manusia
bertindak untul memperbanyak kebahagiaan dan mengurangi penderitaan… setiap
kejahatan harus disertai dengan hukuman-hukuman yang sesuai dengan kejahatan
tersebut. Dan hendaknya penderitaan yang dijatuhkan tidak lebih dari apa yang
diperlakukan untuk mencegah terjadinya kejahatan”.
Yang menjadi kelemahan teori Bentham ini
adalah bahwa ukuran keadilan, kebahagiaan dan penderitaan itu sendiri
diinterpretasikan relatif berbeda antara manusia yang satu dengan yang lainnya.
Sehingga keadilan dan penderitaan tersebut tidaklah menjadi wujud yang pasti
sama bagi setiap manusia.
Tokoh lain dalam aliran ini adalah Rudolph Von Ihering (1818-1892) yang
ajarannya disebut sosial utilitarianisme. Ihering berpendapat:
“… hukum sebagai sarana untuk mengendalikan
individu-individu agar tujuannya sesuai dengan tujuan masyarakat dimana merela
menjadi warganya… hukum juga merupakan suatu alat yang dapat dipergunakan untuk
melakukan perubahan-perubahan sosial”.
4.
Aliran Realisme Hukum
Aliran ini diprakarsai oleh Karl Liewellyn (1893-1962), Jereme Frank (1889-1957) dan Justice Oliver Wendell Halmes
(1841-1935) ketiga orang tersebut berasal dari Amerika. Konsep mereka sangat
radikal tentang proses peradilan, dikatakannya bahwa hakim-hakim tidaklah hanya
menentukan hukuman, tetapi bahkan membentuk hukum. Seorang hakim selalu harus
memilih, dia yang menentukan prinsip-prinsip mana yang dipakai dalam menentukan
pemeriksaan di pengadilan dan pihak-pihak mana yang akan menang dalam suatu
perkara. Sering kali suatu keputusan hakim telah mendahului penggunaan prinsip-prinsip
hukum yang formal. Kemudian konsep keadilan dirasinalisasikan di dalam suatu
pendapat tertulis.
Aliran realisme hukum sangat memperhatikan
tentang konsep keadilan, namun secara ilmiah mereka menyadari bahwa keadilan, atau
hukum yang adil itu sendiri paling tidak sangat sulit ditentukan kalau tidak
dikatakan tak bisa ditetapkan. Sementara itu tugas hukum tidak lebih hanyalah
proses dugaan bahwa apabila seseorang berbuat dan atau tidak berbuat sesuatu,
maka dia akan menerima derita sebagai sanksi dan atau sebaliknya sesuai dengan
proses keputusan yang ditetapkan.
·
Essensi hukum ada pada penerapannya,
yang terdapat dalam putusan-putusan pengadilan
·
Keputusan-keputusan hakim sebagai
essensi hukum diputuskan dan dilaksanakan sesuai kebutuhan masyarakat
·
Hakim harus mendasarkan
putusan-putusannya pada akar dari hukum itu sendiri, yaitu yang berada di dalam
kebutuhan masyarakat itu sendiri (in social need).
Dasar-Dasar
Sosiologi Hukum
Oleh:
Yusrizal, S.H., M.H.
A. Manfaat Sosiologi Hukum
Dalam
hal ini secara ideal Purnadi Purbacaraka
dan Soerjono Soekanto memaparkan
kegunaan sosiologi hukum sebagai berikut:
1.
Memberikan kemampuan-kemampuan bagi
pemahaman terhadap hukum dalam konteks sosial.
2.
Mengadakan analisis terhadap
efektivitas hukum tertulis (bagaimana mengusahakan agar suatu undang-undang
melembaga di masyarakat.
3.
Mengadakan evaluasi terhadap
efektivitas hukum tertulis, misalnya mengukur berfungsinya suatu peraturan
didalam masyarakat.
Pemikiran
sosiologi hukum lebih berfokus pada keberlakuan empirik atau faktual dari
hukum. Hal ini, memperlihatkan bahwa sosiolgi hukum tidak secara langsung
diarahkan pada hukum sebagai sistem konseptual, melainkan pada kenyataan sistem
utama. Objek utama sosiologi hukum adalah masyarakat dan pada tingkatan kedua
adalah kaidah-kaidah hukum. Hal ini berbeda dengan hukum normatif memandang
hukum dalam hukum itu sendiri (peraturan).
B.
Realitas Hukum
Biasa
dikenal dengan Law on books dan Law in action Terjadinya perbedaan karena :
1.
Apakah “pola
tingkah laku sosial” telah mengungkapkan materi hukum yang dirumuskan dalam
peraturan.
- Apakah
keputusan pengadilan sama dengan apa yang diharuskan dalam peraturan.
- Apakah tujuan yang dikehendaki hukum sama dengan efek peraturan itu dalam kehidupan masyarakat.
- D. L. Kimbal menyatakan bahwa:
® Sikap ambivalen merupakan penghalang bagi tegaknya hukum;
® Kekuasaan yang tidak berparadigma hukum merupakan
peluang terjadinya pelanggaran HAM.
C. Peranan Hukum Sebagai Alat Untuk
Mengubah Masyarakat
Yakni
hukum sebagai sarana rekayasa (social
engineering by law), atau bisa disebut juga sebagai alat “agent of change” yang bermakna bahwa
seseorang atau beberapa orang sebagai bagian dari anggota masyarakat yang
diberi amanah untuk memimpin lembaga kemasyarakatan sehingga mempunyai
kesempatan untuk mengolah sistem sosial yang bersangkutan secara teratur.
Menurut
Sabian Utsman Secara umum ada 3 (tiga) peranan atau fungsi hukum sebagai proses
perubahan masyarakat yaitu:
1)
Pemberi bentuk (pedoman perilaku dan
pengendalian sosial serta sebagai landasan proses integrasi);
2)
Hukum juga digunakan sebagai penentu
prosedur dari tujuan masyarakat;
3)
Dalam perspektif pembangunan hukum
digunakan sebagai sarana perubahan masyarakat secara berkesinabungan dan
terarah.
Warga negara adalah sama didepan
hukum, disis lain warga negara berkewajiban mematuhi hukum sepanjang proses
pembuatan hukum tersebut, masyarakat dilibatkan secara aktif sehingga adanya
hukum dengan segala peraturan organik dan perangkat sanksinya diketahui,
dimaknai dan disetujui masyarakat, serta hukum dijadikan kebahagiaan hidup.
Harold J. Laski menyatakan: “bahwa warga negara berkewajiban mematuhi hukum,
jika hukum itu memuaskan rasa keadilan.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar