Senin, 21 Januari 2013

Narkotika dan Tes Urine Di Perguruan Tinggi


OLEH: YUSRIZAL, S.H. M.H

Badan Narkotika Nasional (BNN) mengusulkan agar setiap pelajar atau calon mahasiswa yang akan mengikuti Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) untuk dapat melakukan tes urine sebagai sebagai salah satu syarat masuk perguruan tinggi, usulan ini mendapat dukungan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Mohammad Nuh agar tes urine dapat dilakukan di setiap perguruan tinggi untuk mengantisipasi pengaruh dan dampak narkotika di lingkungan kampus. Ia menilai bahwa calon mahasiswa bukan hanya harus pintar, akan tetapi didukung oleh akhlak yang baik (Serambi Indonesia Online, Jumat 18 Mei 2011).
Upaya pemerintah dalam meletakkan landasan yuridis mengenai narkotika seperti yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 2009 Tentang narkotika merupakan sikap reaktif terhadap penanggulangan narkotika, sebagai akibat dari meningkatnya kejahatan yang berkaitan dengan narkotika. Kompleksitas permasalahan peredaran dan penyalahgunaan narkotika dilingkungan kampus  sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain, coba-coba, merasa ingin dihargai dikelompoknya, motif ekonomi, sikap apatis masyarakat (mahasiswa) dan kebiasaan penggunaan ganja sebagai penyedap makanan dikalangan masyarakat Aceh. Hal inilah yang mengakibatkan kejahatan narkotika semakin subur dan cenderung mendapat tempat dimasyarakat. (Moh. Hatta: 2010).
Kontrol Sosial versus Narkotika
Pencegahan dan penanggulangan narkotika tidak hanya bisa dihadapi dengan ketentuan hukum positif semata, akan tetapi harus dilihat bagaimana kearifan lokal budaya setempat dalam mengatasi permasalahan tersebut. Hal inilah yang perlu digali untuk memantapkan penegakan hukum terhadap narkotika. Tujuannya antara lain agar penerapan hukum positif mendapat apresiasi positif bagi masyarakat. Peran serta segenap komponen masyarakat terhadap penanggulangan narkotika sangat dibutuhkan sebagai upaya perlindungan sosial dan kemanusiaan dalam pemberantasan narkotika. Sebagaimana disebutkan di dalam Undang-undang narkotika Pasal 106 bahwa: Hak masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika diwujudkan dalam bentuk:
a.       Mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika;
b.      Memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh, dan memberikan informasi tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika kepada penegak hukum atau BNN yang menangani perkara tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika;
c.       Menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada penegak hukum atau BNN yang menangani perkara tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika;
d.      Memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan kepada penegak hukum atau BNN;
e.       Memperoleh perlindungan hukum pada saat yang bersangkutan melaksanakan haknya atau diminta hadir dalam proses peradilan.

Persamaan persepsi dalam pencegahan tersebut merupakan keniscayaan, karena selama ini belum ada suatu persamaan pemikiran untuk menentukan suatu realitas legal dan illegal yang berkaitan narkotika,  salah satu cara yang dapat ditempuh adalah adanya upaya kontrol sosial dari masyarakat. Hal ini tidak mudah mengingat belum adanya persamaan kesepakatan dalam penilaian mengenai narkotika. Sebagian kalangan pada masyarakat Aceh, mengkonsumsi ganja bukan merupakan perbuatan kriminal, dengan anggapan bahwa penggunaannya belum pada tahap yang memabukkan (melakukan perbuatan-perbuatan tercela diluar kendali). Oleh sebab itu dibutuhkan suatu kebijakan yang berbasis sosial dan kemasyarakatan dalam penanggulangannya.
Serangkaian kebijakan dan penyuluhan mengenai peredaran dan penanggulangan narkotika seoptimal mungkin dilaksanakan sebagaimana Gubernur Aceh yang diwakili oleh Sekdaprov T. Setia Budi dalam membuka sosialisasi advokasi Implementasi Inpres Nomor 12 tahun 2011 Tentang Pelaksanaan Kebijakan dan Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika (P4GN) berkerjasama dengan Badan Narkotika (BNN) Provinsi Aceh, yang merupakan salah satu upaya serius untuk menyelamatkan generasi bangsa, yang diselenggarakan Badan Narkotika Nasional (BNN) Provinsi Aceh mengatakan, sesuai data dari pihak kepolisian, peredaran narkotika di Aceh kini sudah dalam batas meresahkan, karena berada di peringkat 8 secara nasional. Tingginya peredaran narkotika dan obat-obatan terlarang di Aceh, karena jaringan pemasoknya sudah menyasar hampir ke semua kelompok masyarakat. Seperti kelompok pelajar, mahasiswa/kampus, orang tua, bahkan di kalangan birokrat. Data yang ada juga mengungkapkan, 52 sampai 75 persen penghuni Lembaga Pemasyarakatan di Aceh adalah terpidana kasus narkotika. (Tribun Jakarta Edisi Petang, 19 Mei 2012).
            Harus diakui bahwa peredaran narkotika merupakan musuh bersama, namun ada hal yang menarik dari ide tes urine untuk calon mahasiswa sebagai langkah awal pencegahan dan penanggulangan narkotika di lingkungan kampus. Sudah sewajarnya kampus, apabila menerapkan kebijakan tes urine bagi calon mahasiswa dan sangat tepat pula apabila tes urine juga dilakukan untuk dosen dilingkungan perguruan tinggi.  Menurut hemat penulis tes urine ini juga penting dilakukan oleh setiap tenaga pendidik dan kependidikan yang masih aktif diperguruan tinggi. Tes urine ini dapat dilakukan secara berkala, upaya ini sebagai bentuk pencegahan dan pengendalian narkotika dikalangan kampus.
            Sudah saatnya kebijakan tes urine dapat dilaksanakan dengan baik, maka perguruan tinggi selain mendapatkan mahasiswa yang bebas narkotika juga dapat meminimalisir keberadaan narkotika dikampus. Sudah menjadi rahasia umum bahwa keberadaan ganja untuk provinsi Aceh sangat luar biasa banyaknya, pihak kampus harus ada upaya prevensi dan represif terhadap kejahatan dan pelanggaran yang berkaitan dengan narkotika. Perguruan tinggi dalam mencegah dan menanggulangi tindak pidana narkotika harus berperan aktif sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada masyarakat. Simbolisasi kampus sebagai menara gading sudah selayaknya dihilangkan dengan berbagai upaya ekstra dalam bentuk penyuluhan hukum dan bimbingan melalui mahasiswa yang melakukan kuliah kerja nyata (KKN). Sehingga angka gelap kejahatan (the dark number of crime) narkotika dapat terawasi dengan baik.
            Esmi Warassih (2005), mengatakan bahwa penegakan hukum terhadap narkotika akan berjalan baik apabila kultur hukum masyarakat juga baik. Kultur hukum berfungsi untuk menjembatani sistem hukum dengan tingkah laku masyarakatnya. Seseorang menggunakan atau tidak menggunakan, dan patuh antara tidak patuh terhadap hukum sangat ditentukan oleh nilai-nilai yang dihayati oleh masyarakatnya. Oleh sebab itu sudah saatnya kontrol sosial dan peran perguruan tinggi mengenai keberadaan narkotika ditengah-tengah masyarakat mendapat perhatian dan tanggung jawab bersama demi kehidupan generasi yang akan datang lebih baik.
            Akhirnya pelaksanaan tes urine dilingkungan pendidikan tinggi dapat dilakukan, baik secara teknis pelaksanaannya dan psikologis (sadar hukum) setiap insan akademik harus mendukung kebijakan ini, sehingga Provinsi Aceh terbebas dari narkoba. Semoga..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar