OLEH: YUSRIZAL, S.H. M.H
Badan Narkotika Nasional (BNN) mengusulkan agar setiap
pelajar atau calon mahasiswa yang akan mengikuti Seleksi Nasional Masuk
Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) untuk dapat melakukan tes urine sebagai
sebagai salah satu syarat masuk perguruan tinggi, usulan ini mendapat dukungan
dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Mohammad Nuh agar tes urine dapat
dilakukan di setiap perguruan tinggi untuk mengantisipasi pengaruh dan dampak narkotika
di lingkungan kampus. Ia menilai bahwa calon mahasiswa bukan hanya harus
pintar, akan tetapi didukung oleh akhlak yang baik (Serambi Indonesia Online,
Jumat 18 Mei 2011).
Upaya
pemerintah dalam meletakkan landasan yuridis mengenai narkotika seperti yang
tercantum dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 2009 Tentang narkotika merupakan
sikap reaktif terhadap penanggulangan narkotika, sebagai akibat dari
meningkatnya kejahatan yang berkaitan dengan narkotika. Kompleksitas
permasalahan peredaran dan penyalahgunaan narkotika dilingkungan kampus sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara
lain, coba-coba, merasa ingin dihargai dikelompoknya, motif ekonomi, sikap
apatis masyarakat (mahasiswa) dan kebiasaan penggunaan ganja sebagai penyedap
makanan dikalangan masyarakat Aceh. Hal inilah yang mengakibatkan kejahatan narkotika
semakin subur dan cenderung mendapat tempat dimasyarakat. (Moh. Hatta: 2010).
Kontrol Sosial versus Narkotika
Pencegahan
dan penanggulangan narkotika tidak hanya bisa dihadapi dengan ketentuan hukum
positif semata, akan tetapi harus dilihat bagaimana kearifan lokal budaya
setempat dalam mengatasi permasalahan tersebut. Hal inilah yang perlu digali
untuk memantapkan penegakan hukum terhadap narkotika. Tujuannya antara lain
agar penerapan hukum positif mendapat apresiasi positif bagi masyarakat. Peran
serta segenap komponen masyarakat terhadap penanggulangan narkotika sangat
dibutuhkan sebagai upaya perlindungan sosial dan kemanusiaan dalam
pemberantasan narkotika. Sebagaimana
disebutkan di dalam Undang-undang narkotika Pasal 106 bahwa: Hak
masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan
peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika diwujudkan dalam bentuk:
a.
Mencari,
memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana
narkotika dan prekursor narkotika;
b.
Memperoleh
pelayanan dalam mencari, memperoleh, dan memberikan informasi tentang adanya
dugaan telah terjadi tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika kepada
penegak hukum atau BNN yang menangani perkara tindak pidana narkotika dan prekursor
narkotika;
c.
Menyampaikan
saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada penegak hukum atau BNN yang
menangani perkara tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika;
d.
Memperoleh
jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan kepada penegak hukum
atau BNN;
e.
Memperoleh
perlindungan hukum pada saat yang bersangkutan melaksanakan haknya atau diminta
hadir dalam proses peradilan.
Persamaan
persepsi dalam pencegahan tersebut merupakan keniscayaan, karena selama ini
belum ada suatu persamaan pemikiran untuk menentukan suatu realitas legal dan
illegal yang berkaitan narkotika, salah
satu cara yang dapat ditempuh adalah adanya upaya kontrol sosial dari
masyarakat. Hal ini tidak mudah mengingat belum adanya persamaan kesepakatan
dalam penilaian mengenai narkotika. Sebagian kalangan pada masyarakat Aceh,
mengkonsumsi ganja bukan merupakan
perbuatan kriminal, dengan anggapan bahwa penggunaannya belum pada tahap yang memabukkan
(melakukan perbuatan-perbuatan tercela diluar kendali). Oleh sebab itu
dibutuhkan suatu kebijakan yang berbasis sosial dan kemasyarakatan dalam
penanggulangannya.
Serangkaian kebijakan dan penyuluhan mengenai peredaran dan
penanggulangan narkotika seoptimal mungkin dilaksanakan sebagaimana Gubernur
Aceh yang diwakili oleh Sekdaprov T. Setia Budi dalam membuka sosialisasi advokasi Implementasi Inpres Nomor 12 tahun
2011 Tentang Pelaksanaan Kebijakan dan Strategi Nasional Pencegahan dan
Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika (P4GN) berkerjasama
dengan Badan Narkotika (BNN) Provinsi Aceh, yang merupakan salah satu upaya
serius untuk menyelamatkan generasi bangsa, yang
diselenggarakan Badan Narkotika Nasional (BNN) Provinsi Aceh mengatakan,
sesuai data dari pihak kepolisian, peredaran narkotika di Aceh kini sudah dalam
batas meresahkan, karena berada di peringkat 8 secara nasional. Tingginya
peredaran narkotika dan obat-obatan terlarang di Aceh, karena jaringan
pemasoknya sudah menyasar hampir ke semua kelompok masyarakat. Seperti kelompok
pelajar, mahasiswa/kampus, orang tua, bahkan di kalangan birokrat. Data yang
ada juga mengungkapkan, 52 sampai 75 persen penghuni Lembaga Pemasyarakatan di
Aceh adalah terpidana kasus narkotika. (Tribun Jakarta Edisi Petang, 19 Mei
2012).
Harus diakui bahwa peredaran narkotika
merupakan musuh bersama, namun ada hal yang menarik dari ide tes urine untuk
calon mahasiswa sebagai langkah awal pencegahan dan penanggulangan narkotika di
lingkungan kampus. Sudah sewajarnya kampus, apabila menerapkan kebijakan tes
urine bagi calon mahasiswa dan sangat tepat pula apabila tes urine juga
dilakukan untuk dosen dilingkungan perguruan tinggi. Menurut hemat penulis tes urine ini juga
penting dilakukan oleh setiap tenaga pendidik dan kependidikan yang masih aktif
diperguruan tinggi. Tes urine ini dapat dilakukan secara berkala, upaya ini sebagai
bentuk pencegahan dan pengendalian narkotika dikalangan kampus.
Sudah saatnya kebijakan tes urine dapat
dilaksanakan dengan baik, maka perguruan tinggi selain mendapatkan mahasiswa
yang bebas narkotika juga dapat meminimalisir keberadaan narkotika dikampus.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa keberadaan ganja untuk provinsi Aceh sangat
luar biasa banyaknya, pihak kampus harus ada upaya prevensi dan represif
terhadap kejahatan dan pelanggaran yang berkaitan dengan narkotika. Perguruan
tinggi dalam mencegah dan menanggulangi tindak pidana narkotika harus berperan
aktif sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada masyarakat. Simbolisasi kampus
sebagai menara gading sudah selayaknya dihilangkan dengan berbagai upaya ekstra
dalam bentuk penyuluhan hukum dan bimbingan melalui mahasiswa yang melakukan
kuliah kerja nyata (KKN). Sehingga angka gelap kejahatan (the dark number of crime) narkotika dapat terawasi dengan baik.
Esmi Warassih (2005), mengatakan
bahwa penegakan hukum terhadap narkotika akan berjalan baik apabila kultur
hukum masyarakat juga baik. Kultur hukum berfungsi untuk menjembatani sistem
hukum dengan tingkah laku masyarakatnya. Seseorang menggunakan atau tidak menggunakan,
dan patuh antara tidak patuh terhadap hukum sangat ditentukan oleh nilai-nilai
yang dihayati oleh masyarakatnya. Oleh sebab itu sudah saatnya kontrol sosial
dan peran perguruan tinggi mengenai keberadaan narkotika ditengah-tengah
masyarakat mendapat perhatian dan tanggung jawab bersama demi kehidupan
generasi yang akan datang lebih baik.
Akhirnya pelaksanaan tes urine
dilingkungan pendidikan tinggi dapat dilakukan, baik secara teknis pelaksanaannya
dan psikologis (sadar hukum) setiap insan akademik harus mendukung kebijakan
ini, sehingga Provinsi Aceh terbebas dari narkoba. Semoga..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar