Senin, 21 Januari 2013

Perkembangan Kejahatan dan Pelanggaran Ditengah Penerapan Syariat Islam di Provinsi Aceh


oleh: Yusrizal, S.H., M.H.

A.  Pendahuluan
Pada saat ini kejahatan dan pelanggaran bukanlah sesuatu yang jarang terjadi, bahkan sebaliknya kejahatan tampak begitu mudah kita lihat dan kita alami dalam kehidupan sehari-hari. kejahatan sudah menjadi hal biasa mewarnai kehidupan manusia. Yang mengkhawatirkan, apabila kejahatan tidak segera ditanggulangi, maka lambat laun kejahatan dan pelangaran tersebut tidak dapat diidentifikasi lagi sebagai kejahatan dan pelanggaran, melainkan sudah dianggap budaya atau tradisi suatu masyarakat yang endemik.[1] Sebagai contoh yang masih segar dalam ingatan adalah sadistisme yang dilakukan oleh orang tak dikenal terhadap 1 (satu) keluarga tewas dibantai di Takengon Kabupaten Aceh Tengah.[2] selanjutnya adalah salah bentuk pelanggaran syariat Islam yang dilakukan oleh penjual burger yang membuka dagangannya pada bulan ramadhan yang lalu. Ditempat itu memperkerjakan pramusaji wanita berpakaian seronok yang tampak setia menemani pelanggan laki-laki hingga sahur.[3] Namun, penulis berkeyakinan bahwa contoh-contoh tersebut masih banyak terjadi, adakalanya sebagai angka gelap kejahatan (the dark number of crime) yang tidak terpantau oleh media maupun yang tidak dilaporkan kepada pihak yang berwenang.
Munculnya angka gelap kejahatan sangat tergantung pada korban. Korbanlah yang harus melaporkan pada Polisi bahwa dirinya telah menjadi korban dari suatu kejahatan. Oleh karena itu, secara umum terdapat jenis korban berdasarkan tingkat kesadaran yaitu:[4]
1.    Kesadaran korban bahwa dirinya telah menjadi korban. Pada tingkat awal, korban harus mengetahui dan menyadari bahwa dirinya telah menjadi sasaran kejahatan. Kejahatan tertentu, yang dilakukan dengan cara yang halus, seringkali membuat korban tidak menyadari bahwa dirinya telah menjadi sasaran kejahatan. Misalnya kejahatan korporasi, kejahatan di bidang lingkungan hidup, dan lain-lainya.
2.    Kesadaran korban untuk segera melaporkan kejahatan yang menimpa dirinya. Banyak korban yang melaporkan kejahatan yang telah dialami tanpa menyadari telah merusak atau menghilangkan bukti-bukti yang diperlukan polisi untuk mengungkap kejahatan tersebut. Disamping itu, banyak juga korban yang tidak melaporkan kejadian yang telah dialaminya kepada polisi karena alasan persoalan pribadi, misalnya: kejahatan kesusilaan, yang apabila dilaporkan akan merasa tercemar dan merusak harga diri bagi si korban pada akhirnya korban mengalami ganda kerugian.
Melihat kenyataan diatas ada hal yang menarik, dari penerapan (penegakan) syariat Islam, yang seharusnya semua perilaku dan tindakan manusia harus berdasarkan apa yang digariskan oleh ajaran Islam (khususnya yang beragama Islam) sedangkan bagi yang beragama non muslim, semaksimal mungkin harus menjaga toleransi antar umat beragama. Terlepas dari itu, mengapa masih banyak terjadi pelanggaran dan tindak kejahatan ditengah derasnya implementasi syariat Islam di Provinsi Aceh? Apa yang salah dari model penegakan hukum tersebut.
Dasar ideologis dan sosiologis menegakkan hukum bersandarkan syariat Islam adalah perlunya proses pemahaman ajaran Islam yang komprehensif (kaffah). Suatu model pemahaman sekaligus penerapan ajaran Islam Alqu’ran dan Sunnah yang dimulai dari suatu keyakinan bahwa syarian Islam menawarkan berbagai solusi yang kondusif.[5] Menurut Islam, yang menentukan hukum itu bukan badan legislatif buatan manusia melainkan Allah. Jika hukum dimaksudkan sebagai ketentuan-ketentuan yang mengikat dan tanpa dibedakan terlalu jauh dari apa yang dinamakan dengan syariat. Maka di dalam Islam hukum itu hanya diciptakan oleh Allah. Manusia tidak dapat menciptakan hukum yang bertentangan dengan apa yang ditetapkan oleh Allah. Karena hukum Allah sangat akurat dalam menangani pelbagai kehidupan manusia, terkadang manusia yang tidak mau mempergunakan hukum Islam dikarenakan ada tujuan yang hendak dicapai. Keserakahan dan kekufuran manusia terhadap nilai-nilai yang pada akhirnya menjerumuskan manusia dalam lembah kejahatan.
B.  Problematika Penerapan Syariat Islam
Perdebatan soal penerapan hukum Islam (syariat) di sejumlah negara sampai sekarang merupakan persoalan yang belum kunjung selesai. Persoalan ini paling tidah disebabkan oleh kelompok muslim yang pro dan kontra di seputar pelaksanaan hukum Islam itu sendiri. Salah satu persoalan tersebut adalah tentang penerapan hukum pidana Islam.[6]
Penerapan hukum pidana Islam juga mendapat tantangan penerapannya di Provinsi Aceh, yang sampai sekarang Kanun mengenai Jinayah belum disahkan menjadi kanun yang mengatur perbuatan tersebut. Akhirnya disini kita dapat melihat keseriusan Pemerintah dalan menegakkan hukum sesuai syariat Islam. Penulis melihat penerapan syariat Islam di Aceh cenderung setengah hati. Syariat Islam hanya menjadi slogan-slogan demi tujuan tertentu.
Syariat Islam bukan hanya bercirikan pemasangan pamflet-pamflet yang bertuliskan huruf Arab, bukan juga setiap kepala daerah yang akan bertarung di pemilukada diharuskan membaca Alqur’an yang sebagian kalangan hanya menganggap sebagai formalitas semata. Penulis ingin mengajak bagaimana implementasi penerapan syariat Islam berdasarkan kanun-kanun yang disepakati Pemerintah dan Ulama. Tidak heran jika di era negeri yang katanya bersyariat ternyata kejahatan dan pelanggaran juga meningkat. Hal ini diakibatkan oleh tebang pilih dalam menindak setiap kejahatan dan pelanggaran norma-norma syariat Islam.
Sedikitnya ada tiga arus besar dalam menyikapi syariat Islam, Pertama arus formalisasi syariat. Kelompok ini menhendaki agar syariat Islam dijadikan landasan riil berbangsa dan bernegara, implikasinya ia getol menyuarakan perlunya mendirikan negara Islam atau dengan berupaya memasukkan syariat Islam secara formal dalam undang-undang negara. Kedua, arus deformalisasi syariat, kelompok ini memilih pemaknaan syariat tidak serta merta dihegemoni oleh negara, karena wataknya represif, syariat secara individu sudah diterapkan sehingga formalisasi dalam undang-undang tidak mempunyai alasan yang kuat. Ketiga, arus moderat, kelompok ini dikesankan mengambil jalan tengah, menolak sekulerisasi. Pemandangan tersebut menjadi bukti kuat, bahwa penerapan syariat Islam merupakan arena perdebatan yang subur dan tak jarang tarik ulur.[7]
Semua keberatan-keberatan terhadap penerapan syariat melalui hukum positif dan gagasan tentang negara Islam, tentunya tidak akan menghalangi umat Islam secara personal untuk menyesuaikan diri dengan setiap aspek syariat. Asumsi-asumsi yang perlu digarisbawahi dari klaim pelaksanaan syariat melalui hukum positif adalah bahwa masyarakat dan komunitas Islam memiliki hak dan tanggung jawab untuk mengatur kehidupan pribadi dan publik sesuai dengan ketentuan-ketentuan Islam. Ditengah hiruk pikuknya penegakan syariat Islam tenyata berbagai tindakan kriminal (suatu perbuatan yang dipandang tercela oleh syara’) tak kunjung surut, salah satu faktor menyatakan bahwa belum bersatunya para penduduk negeri mengenai syariat islam.
Tujuan utama syariat Islam (al-maqasid al syariah) adalah bentuk kemaslahatan umat, serta mengurangi intensitas kejahatan dan pelanggaran dimuka bumi. Kemaslahatan sebagaimana dijelaskan al-Syatibi, dikategorikan menjadi tiga kelompok yang meliputi:[8]
1.    Daruriyat, secara bahasa berarti kebutuhan mendesak. Ia mengandung lima prinsip (agama, jiwa, akal, keturunan dan harta) sebagai aspek-aspek hukum yang sangat dibutuhkan demi berlangsungnya urusan agama dan keduniaan manusia secara baik. Pengabaian terhadap aspek-aspek tersebut akan mengakibatkan kekacauan dan ketidakadilan didunia ini, dan akan berlangsung dengan sangat tidak menyenangkan.
2.    Hajiyat (secara bahasa berarti kebutuhan), adalah aspek-aspek hukum yang dibutuhkan untuk meringankan beban yang teramat berat, sehingga hukum dapat dilaksnakan tanpa rasa tertekan dan terkekang. Keringanan-keringanan hukum semacam ini diperlukan agar kehidupan dan hukum yang dimiliki umat Islam dapat diterima.
3.    Tahsiniyyat (secara bahasa berarti hal-hal penyempurna), menunjuk pada aspek-aspek hukum seperti anjuran untuk memerdekakan budak, sedekah pada orang miskin dan sebagainya. hal-hal tersebut bukan merupakan kebutuhan mendesak, namun mereka sangat berarti dalam nilai tambah bagi karakter secara umum. Atas dasar taksonomi kemaslahatan (masalih) inilah  syariat Islam (al-maqasid al syariah).
Berdasarkan penjelasan singkat diatas bahwa tujuan syariat apabila dapat dilaksanakan maka tenteramlah kehidupan dimuka bumi. Disamping keberatan-keberatan terhadap pemberlakuan syariat Islam, juga adanya salah paham terhadap cara pandang tentang Islam itu sendiri misalnya mengenai:[9]
1.      Kesalahpahaman mengenai ruang lingkup ajaran Islam terjadi, misalnya, karena orang menganggap semua agama itu sama dan ruang lingkupnya sama juga. Dipengaruhi ajaran agama nasrani yang ruang lingkupnya hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan saja. Orang mengannggap agamai Islam pun demikian halnya. Selain menhatur hubungan manusia dengan Tuhannya maka agama Islam juga mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri dan dengan benda dan alam sekitar. Oleh sebab itu Islam harus dipelajati dari sumber aslinya yaitu Alqur’an dan Hadist Nabi Muhammad yang memuat sunnahnya.
2.      Kesalapahaman menggambarkan kerangka dasar ajaran Islam. Orang menggambarkan bagian-bagian agama Islam sepotong-potong atau sebagian-sebagian saja. Misalnya orang menggambarkan atau membuat gambaran yang memberi kesan seakan-akan agama Islam itu hanyalah mengenai akidah atau iman saja, atau hanya tentang syariat atau hukum belaka, atau ajaran akhlak semata-mata, yang kesemuanya itu tanpa meletakkan dan menghubungkan bagian-bagian dalam kerangka dasar keterpaduan agama Islam secara menyeluruh.
3.      Kesalahpahaman mempergunakan metode mempelajari Islam, misalnya metode mempelajari yang dipakai oleh seorang orientalis, sering mempergunakan dan menganalisis, mempelajari Islam dengan pendekatan yang tidak benar dan cenderung melecehkan Islam.
Dengan demikian tugas utama dan mendesak umat Islam dewasa ini yaitu selain meningkatkan pemahaman atas ajaran-ajaran Islam secara konprehensif, ilmiah dan kritis, dan bagaimana kita sekaligus berusaha untuk mencegah penyakit rohani yang memungkinkan timbulnya kejahatan. Mencari pembuktian yang valid dan kondusif, dimana keunggulan syariat Islam sebagai hidayah, dapat menjadi masukan yang mampu memperkuat dimensi kerohanian dan keimanan umat Islam.
Studi-studi yang memperbandingkan keunggulan ajaran Islam dan menjadi bukti fungsional dalam kehidupan riil, sungguh menjadi tantangan yang tidak bisa ditunda lagi. Banyak umat Islam yang heran mengapa praktek-praktek dan nilai-nilai yang bertentangan dengan ajaran demokrasi tang timbul di negara-negara Islam. Persoalan ini jelas bukan karena ajaran Islam yang salah, melainkan justeru nilai budaya lokal yang tidak tegas (misalnya: warung remang-remang, etika berbusana, dll) lebih memainkan peranan  dominan dalam mempengaruhi cara masyarakat berkeyakinan, berfikir dan bertingkah laku.
C.  Penyebab Utama Kejahatan: Iman Determinisme
Munculnya banyak teori penyebab kejahatan, belum secara maksimal dapat menjelaskan secara jelas apa yang menjadi penyebab utama dari kejahatan. Pada akhirnya dalam penegakannya sulit terwujud. Dibalik itu semua, mustahil pencegahan dan penegakan hukum terhadap kejahatan dan pelanggaran dilakukan menyeluruh. Sebagai contoh bahwa kejahatan itu timbul akibat faktor ekonomi maka kebijakan yang perekonomian dapat meredam kejahatan, namun yang terjadi bahwa banyak orang melakukan korupsi justeru adalah orang-orang yang perekonomiannya tinggi.
Melihat fenomena ini maka penyebab kejahatan dan pelanggaran adalah “Iman Determinisme” sebagai penyebab utama terjadinya kejahatan. Manakala iman menurun maka individu, siapa pun dia memiliki potensi yang kuat untuk melakukan kejahatan, sebaliknya semakin tinggi iman seseorang maka semakin jauh untuk melakukan kejahatan, karena ada pertimbangan moral dan kegelisahan disetiap perbuatan yang buruk itu dilakukan. Konsep iman terdiri dari:[10]
1)   Beriman Kepada Allah Swt Penguasa Langit dan Bumi
Umat manusia harus menyadari bahwa mereka dahulunya tidak ada dimuka bumi ini. Siapa yang menciptakan manusia dari ketiadaan? Jawabannya adalah Allah Yang Maha Agung, Dialah yang telah menciptakan umat manusia. Setelah itu, manusia akan dkembalikan ke Hadirat Allah pencipta alam semesta. Pada hari itu kiamat, yang pada akhirnya Allah Yang Maha Hakim akan mengadili manusia berkenaan dengan tindak tanduknya selama di dunia yang akan melahirkan punishment dan reward.
2)   Beriman Pada Hari Kiamat
Dasar pemikirannya adalah bahwa kehidupan di dunia adalah bersifat sementara sedangkan akhirat adalah abadi. Jalan mana yang akan dia pilih maka itulah kesadaran bernurani, hukuman yang dijatuhkan juga merupakan pilihan yang diyakini akan menimpanya, Dengan demikian, manusia akan tertuntut untuk berlomba melakukan amal shalih guna mengumpulkan bekal  menghadap Allah SWT Yang Maha Adil dan keras siksa-Nya.
            Secara umum dalam etika dikenal ada dua faham yang bertolak belakang pendapatnya dalam menilai perbuatan manusia dari segi baik dan buruknya yaitu faham yang dikenal dengan:[11]
1.      Determinisme adalah suatu paham yang secara ontologis menganggap bahwa manusia adalah suatu makhluk yang tidak memiliki kehendak bebas. Sejak perbuatannya dilakukannya bukan disadarinya atau tidak atas kemauannya memilih alternatif yang tersedia, melainkan ditentukan atau dikendalikan oleh sesuatu kekuatan diluar kekuasaannya yaitu oleh Tuhan, hukum alam dan masyarakat.
2.      Indeterminisme adalah suatu paham yang menganggap bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki kehendak bebas mampu mengendalikan diri dan harus bertanggung jawab penuh terhadap perbauatannya.
            Determinisme akan sangat berbahaya jika mengajarkan: tidak seorang dapat dipertanggungjawabkan, tiap-tiap orang boleh berbuat sekehendaknya, sebaliknya indeterminisme mengajarkan bahwa tiap-tiap orang tidak ada perkecualiannya, bertanggung jawab atas perbuatannya, karena merupakan anggota masyarakat. yang harus mengambil tindakan terhadap siapa sajayang melanggar peraturannya dan merugikan kepentingannya. Suara yang terdapat dalam diri manusia yang mengatakan padanya bahwa perbuatan yang dilakukannya adalah salah, yang mengatakan padanya, bahwa selanjutnya perbuatan yang demikian harus dihindarkan dan sebetulnya adalah suara dari masyarakat.[12]
            Tentu saja sepanjang hidupnya seorang manusia akan mendapat pengaruh dari lingkungannya baik dari lingkungan keluarga maupun lingkungan masyarakat. Namun ia tetap mampu mengadakan pilihan atas beberapa alternatif yang ada. Salah satu syarat untuk mengadakan penilaian ialah kehendak bebas, selain adanya kehendak bebas untuk memilih diantara alternatif, maka pengetahuan atau kesadaran dapat menilai perbuatan baik dan buruk.
D.  Penyelesaian masalah kejahatan
            Setelah mengetahui bahwa kejahatan disebabkan oleh kurangnya iman kepada Tuhan Penguasa Langit dan Bumi, maka upaya penanggulangan kejahatan dapat diaplikasikan sebagai berikut:
1.      Memperkuat iman umat manusia terhadap Allah sebagai pencipta umat manusia.
2.      Memberlakukan hukum Allah yang maha hakim dalam menangani segala macam tindak kejahatan. Hukum Allah yang maha adil mempunyai universalitas dalam menangani kejahatan. Mulai dari kejahatan kecil sampai kejahatan yang besar.
3.      Adanya itikad baik dalam memberlakukan syariat Islam, sehingga semua lapisan masyarakat memandang aturan sebagai acuan dalam bertindak, bukan sebaliknya sebagai pasal-pasal mati.
4.      Sinergisitas anntara ulama dan ulama dalam hal pemberantasan kejahatan dan pelanggaran norma-norma agama.
5.      Adanya partisipasi masyarakat dalam hal pencegahan dan penaggulangan setiap kemungkaran yang terjadi didalam masyarakat
            Allah SWT telah menetapkan hukum-hukum uqubat (pidana, sanksi dan pelanggaran) dalam peraturan islam sebagai pencegah dan penebus dosa. Sebagai pencegah karena ia berfungsi mencegah manusia dari tindakan-tindakan criminal. Sebagai penebus, karena ia berfungsi menebus dosa seorang muslim dari azab Allah dihari kiamat. Keberadaan uqubat dalam islam, yang berfungsi sebagai pencegah, telah disebutkan dalam Alqur’an yang artinya: “dan dalam Qishas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa” (Al-Baqarah 2:179).
            Akhir dari setiap kejahatan adalah penjara (lembaga pemasyarakatan), akhir-akhir ini sistem rehabilitasi juga mengalami permasalahan, karena tujuan pemidanaan yang ingin dicapai menjadi tidak jelas. Seperti: membludaknya jumlah narapidana, kekerasan dalam penjara, penyakit dalam penjara, homoseksual dalam penjara, sekolah kejahatan bagi pemula, beban negara semakin membengkak dengan bertambahnya narapidana. Maka sudah seharusnya kita semua kembali kepada hukum Islam secara kaffah.

Daftar Pustaka
Chairil A Adjis dan Dudi Akasyah, Kriminologi Syariah, Jakarta: RMBOOKS, 2007
Edi Warman, Selayang Pandang Tentang Kriminologi, Medan: USU Press, 1994
Jawahir Thontowi, Islam, Politik dan Hukum, Yogyakarta: Madyan Press, 2002
Made Darma Weda, Kriminologi, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1998
Ridwan, Limitasi Hukum Pidana Islam, Semarang: Wali Songo Press, 2008
W. A. Bonger, Pengantar Tentang Kriminologi, Jakarta: PT. Pembangunan, 1995



[1] Chairil A Adjis dan Dudi Akasyah, Kriminologi Syariah, (Jakarta: RMBOOKS, 2007), hlm. 1
[2] Dijelaskan bahwa: ketiga korban dibacok berulang-ulang dibagian kepala, wajah dan anggota tubuh lainnya. Dugaan sementara motif pembunuhan adalah dendam. Lihat Harian Serambi Indonesia Tgl. 29 Oktober 2011, hlm. 1
[3] Lihat Harian Serambi Indonesia Tgl. 23 Agustus 2011, hlm. 3
[4] Made Darma Weda, Kriminologi, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996) hlm. 95-96
[5] Jawahir Thontowi, Islam, Politik dan Hukum, (Yogyakarta: Madyan Press, 2002), hlm. 26
[6] Ridwan, Limitasi Hukum Pidana Islam, (Semarang: Wali Songo Press, 2008), hlm. 1
[7] Ibid, hlm. 76
[8] Ibid, hlm. 82
[9] Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1998), hlm. 58
[10] Chairil A Adjis dan Dudi Akasyah, Op. Cit, hlm. 11
[11] Edi Warman, Selayang Pandang Tentang Kriminologi, (Medan: USU Press, 1994), hlm.  13-14
[12] W. A. Bonger, Pengantar Tentang Kriminologi, (Jakarta: PT. Pembangunan, 1995 Cet, Ketujuh), hlm. 39

Tidak ada komentar:

Posting Komentar