oleh: Yusrizal, S.H., M.H.
A. Pendahuluan
Pada
saat ini kejahatan dan pelanggaran bukanlah sesuatu yang jarang terjadi, bahkan
sebaliknya kejahatan tampak begitu mudah kita lihat dan kita alami dalam
kehidupan sehari-hari. kejahatan sudah menjadi hal biasa mewarnai kehidupan
manusia. Yang mengkhawatirkan, apabila kejahatan tidak segera ditanggulangi,
maka lambat laun kejahatan dan pelangaran tersebut tidak dapat diidentifikasi
lagi sebagai kejahatan dan pelanggaran, melainkan sudah dianggap budaya atau
tradisi suatu masyarakat yang endemik.[1]
Sebagai contoh yang masih segar dalam ingatan adalah sadistisme yang dilakukan
oleh orang tak dikenal terhadap 1 (satu) keluarga tewas dibantai di Takengon
Kabupaten Aceh Tengah.[2] selanjutnya
adalah salah bentuk pelanggaran syariat Islam yang dilakukan oleh penjual
burger yang membuka dagangannya pada bulan ramadhan yang lalu. Ditempat itu
memperkerjakan pramusaji wanita berpakaian seronok yang tampak setia menemani
pelanggan laki-laki hingga sahur.[3]
Namun, penulis berkeyakinan bahwa contoh-contoh tersebut masih banyak terjadi,
adakalanya sebagai angka gelap kejahatan (the
dark number of crime) yang tidak terpantau oleh media maupun yang tidak dilaporkan
kepada pihak yang berwenang.
Munculnya
angka gelap kejahatan sangat tergantung pada korban. Korbanlah yang harus
melaporkan pada Polisi bahwa dirinya telah menjadi korban dari suatu kejahatan.
Oleh karena itu, secara umum terdapat jenis korban berdasarkan tingkat
kesadaran yaitu:[4]
1. Kesadaran
korban bahwa dirinya telah menjadi korban. Pada tingkat awal, korban harus
mengetahui dan menyadari bahwa dirinya telah menjadi sasaran kejahatan.
Kejahatan tertentu, yang dilakukan dengan cara yang halus, seringkali membuat
korban tidak menyadari bahwa dirinya telah menjadi sasaran kejahatan. Misalnya
kejahatan korporasi, kejahatan di bidang lingkungan hidup, dan lain-lainya.
2. Kesadaran
korban untuk segera melaporkan kejahatan yang menimpa dirinya. Banyak korban
yang melaporkan kejahatan yang telah dialami tanpa menyadari telah merusak atau
menghilangkan bukti-bukti yang diperlukan polisi untuk mengungkap kejahatan
tersebut. Disamping itu, banyak juga korban yang tidak melaporkan kejadian yang
telah dialaminya kepada polisi karena alasan persoalan pribadi, misalnya:
kejahatan kesusilaan, yang apabila dilaporkan akan merasa tercemar dan merusak
harga diri bagi si korban pada akhirnya korban mengalami ganda kerugian.
Melihat
kenyataan diatas ada hal yang menarik, dari penerapan (penegakan) syariat Islam,
yang seharusnya semua perilaku dan tindakan manusia harus berdasarkan apa yang
digariskan oleh ajaran Islam (khususnya yang beragama Islam) sedangkan bagi
yang beragama non muslim, semaksimal mungkin harus menjaga toleransi antar umat
beragama. Terlepas dari itu, mengapa masih banyak terjadi pelanggaran dan
tindak kejahatan ditengah derasnya implementasi syariat Islam di Provinsi Aceh?
Apa yang salah dari model penegakan hukum tersebut.
Dasar
ideologis dan sosiologis menegakkan hukum bersandarkan syariat Islam adalah
perlunya proses pemahaman ajaran Islam yang komprehensif (kaffah). Suatu model
pemahaman sekaligus penerapan ajaran Islam Alqu’ran dan Sunnah yang dimulai
dari suatu keyakinan bahwa syarian Islam menawarkan berbagai solusi yang
kondusif.[5]
Menurut Islam, yang menentukan hukum itu bukan badan legislatif buatan manusia
melainkan Allah. Jika hukum dimaksudkan sebagai ketentuan-ketentuan yang
mengikat dan tanpa dibedakan terlalu jauh dari apa yang dinamakan dengan
syariat. Maka di dalam Islam hukum itu hanya diciptakan oleh Allah. Manusia
tidak dapat menciptakan hukum yang bertentangan dengan apa yang ditetapkan oleh
Allah. Karena hukum Allah sangat akurat dalam menangani pelbagai kehidupan
manusia, terkadang manusia yang tidak mau mempergunakan hukum Islam dikarenakan
ada tujuan yang hendak dicapai. Keserakahan dan kekufuran manusia terhadap
nilai-nilai yang pada akhirnya menjerumuskan manusia dalam lembah kejahatan.
B. Problematika Penerapan Syariat Islam
Perdebatan
soal penerapan hukum Islam (syariat) di sejumlah negara sampai sekarang
merupakan persoalan yang belum kunjung selesai. Persoalan ini paling tidah
disebabkan oleh kelompok muslim yang pro dan kontra di seputar pelaksanaan
hukum Islam itu sendiri. Salah satu persoalan tersebut adalah tentang penerapan
hukum pidana Islam.[6]
Penerapan
hukum pidana Islam juga mendapat tantangan penerapannya di Provinsi Aceh, yang
sampai sekarang Kanun mengenai Jinayah belum disahkan menjadi kanun yang
mengatur perbuatan tersebut. Akhirnya disini kita dapat melihat keseriusan
Pemerintah dalan menegakkan hukum sesuai syariat Islam. Penulis melihat
penerapan syariat Islam di Aceh cenderung setengah hati. Syariat Islam hanya
menjadi slogan-slogan demi tujuan tertentu.
Syariat
Islam bukan hanya bercirikan pemasangan pamflet-pamflet yang bertuliskan huruf
Arab, bukan juga setiap kepala daerah yang akan bertarung di pemilukada
diharuskan membaca Alqur’an yang sebagian kalangan hanya menganggap sebagai
formalitas semata. Penulis ingin mengajak bagaimana implementasi penerapan
syariat Islam berdasarkan kanun-kanun yang disepakati Pemerintah dan Ulama.
Tidak heran jika di era negeri yang
katanya bersyariat ternyata kejahatan dan pelanggaran juga meningkat. Hal
ini diakibatkan oleh tebang pilih dalam menindak setiap kejahatan dan
pelanggaran norma-norma syariat Islam.
Sedikitnya
ada tiga arus besar dalam menyikapi syariat Islam, Pertama arus formalisasi syariat. Kelompok ini menhendaki agar
syariat Islam dijadikan landasan riil berbangsa dan bernegara, implikasinya ia
getol menyuarakan perlunya mendirikan negara Islam atau dengan berupaya
memasukkan syariat Islam secara formal dalam undang-undang negara. Kedua, arus deformalisasi syariat,
kelompok ini memilih pemaknaan syariat tidak serta merta dihegemoni oleh
negara, karena wataknya represif, syariat secara individu sudah diterapkan
sehingga formalisasi dalam undang-undang tidak mempunyai alasan yang kuat. Ketiga, arus moderat, kelompok ini
dikesankan mengambil jalan tengah, menolak sekulerisasi. Pemandangan tersebut
menjadi bukti kuat, bahwa penerapan syariat Islam merupakan arena perdebatan
yang subur dan tak jarang tarik ulur.[7]
Semua
keberatan-keberatan terhadap penerapan syariat melalui hukum positif dan
gagasan tentang negara Islam, tentunya tidak akan menghalangi umat Islam secara
personal untuk menyesuaikan diri dengan setiap aspek syariat. Asumsi-asumsi
yang perlu digarisbawahi dari klaim pelaksanaan syariat melalui hukum positif
adalah bahwa masyarakat dan komunitas Islam memiliki hak dan tanggung jawab
untuk mengatur kehidupan pribadi dan publik sesuai dengan ketentuan-ketentuan Islam.
Ditengah hiruk pikuknya penegakan syariat Islam tenyata berbagai tindakan
kriminal (suatu perbuatan yang dipandang tercela oleh syara’) tak kunjung
surut, salah satu faktor menyatakan bahwa belum bersatunya para penduduk negeri
mengenai syariat islam.
Tujuan
utama syariat Islam (al-maqasid al
syariah) adalah bentuk kemaslahatan umat, serta mengurangi intensitas
kejahatan dan pelanggaran dimuka bumi. Kemaslahatan sebagaimana dijelaskan al-Syatibi,
dikategorikan menjadi tiga kelompok yang meliputi:[8]
1. Daruriyat,
secara bahasa berarti kebutuhan mendesak. Ia mengandung lima prinsip (agama,
jiwa, akal, keturunan dan harta) sebagai aspek-aspek hukum yang sangat
dibutuhkan demi berlangsungnya urusan agama dan keduniaan manusia secara baik.
Pengabaian terhadap aspek-aspek tersebut akan mengakibatkan kekacauan dan
ketidakadilan didunia ini, dan akan berlangsung dengan sangat tidak
menyenangkan.
2. Hajiyat (secara
bahasa berarti kebutuhan), adalah aspek-aspek hukum yang dibutuhkan untuk
meringankan beban yang teramat berat, sehingga hukum dapat dilaksnakan tanpa
rasa tertekan dan terkekang. Keringanan-keringanan hukum semacam ini diperlukan
agar kehidupan dan hukum yang dimiliki umat Islam dapat diterima.
3. Tahsiniyyat
(secara bahasa berarti hal-hal penyempurna), menunjuk pada aspek-aspek hukum seperti
anjuran untuk memerdekakan budak, sedekah pada orang miskin dan sebagainya.
hal-hal tersebut bukan merupakan kebutuhan mendesak, namun mereka sangat
berarti dalam nilai tambah bagi karakter secara umum. Atas dasar taksonomi
kemaslahatan (masalih) inilah syariat Islam
(al-maqasid al syariah).
Berdasarkan
penjelasan singkat diatas bahwa tujuan syariat apabila dapat dilaksanakan maka
tenteramlah kehidupan dimuka bumi. Disamping keberatan-keberatan terhadap
pemberlakuan syariat Islam, juga adanya salah paham terhadap cara pandang
tentang Islam itu sendiri misalnya mengenai:[9]
1. Kesalahpahaman
mengenai ruang lingkup ajaran Islam terjadi, misalnya, karena orang menganggap
semua agama itu sama dan ruang lingkupnya sama juga. Dipengaruhi ajaran agama
nasrani yang ruang lingkupnya hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan
saja. Orang mengannggap agamai Islam pun demikian halnya. Selain menhatur
hubungan manusia dengan Tuhannya maka agama Islam juga mengatur hubungan
manusia dengan dirinya sendiri dan dengan benda dan alam sekitar. Oleh sebab
itu Islam harus dipelajati dari sumber aslinya yaitu Alqur’an dan Hadist Nabi
Muhammad yang memuat sunnahnya.
2. Kesalapahaman
menggambarkan kerangka dasar ajaran Islam. Orang menggambarkan bagian-bagian agama
Islam sepotong-potong atau sebagian-sebagian saja. Misalnya orang menggambarkan
atau membuat gambaran yang memberi kesan seakan-akan agama Islam itu hanyalah
mengenai akidah atau iman saja, atau hanya tentang syariat atau hukum belaka,
atau ajaran akhlak semata-mata, yang kesemuanya itu tanpa meletakkan dan
menghubungkan bagian-bagian dalam kerangka dasar keterpaduan agama Islam secara
menyeluruh.
3. Kesalahpahaman
mempergunakan metode mempelajari Islam, misalnya metode mempelajari yang
dipakai oleh seorang orientalis, sering mempergunakan dan menganalisis,
mempelajari Islam dengan pendekatan yang tidak benar dan cenderung melecehkan Islam.
Dengan
demikian tugas utama dan mendesak umat Islam dewasa ini yaitu selain
meningkatkan pemahaman atas ajaran-ajaran Islam secara konprehensif, ilmiah dan
kritis, dan bagaimana kita sekaligus berusaha untuk mencegah penyakit rohani
yang memungkinkan timbulnya kejahatan. Mencari pembuktian yang valid dan
kondusif, dimana keunggulan syariat Islam sebagai hidayah, dapat menjadi
masukan yang mampu memperkuat dimensi kerohanian dan keimanan umat Islam.
Studi-studi
yang memperbandingkan keunggulan ajaran Islam dan menjadi bukti fungsional
dalam kehidupan riil, sungguh menjadi tantangan yang tidak bisa ditunda lagi.
Banyak umat Islam yang heran mengapa praktek-praktek dan nilai-nilai yang
bertentangan dengan ajaran demokrasi tang timbul di negara-negara Islam.
Persoalan ini jelas bukan karena ajaran Islam yang salah, melainkan justeru
nilai budaya lokal yang tidak tegas (misalnya: warung remang-remang, etika
berbusana, dll) lebih memainkan peranan
dominan dalam mempengaruhi cara masyarakat berkeyakinan, berfikir dan
bertingkah laku.
C. Penyebab Utama Kejahatan: Iman
Determinisme
Munculnya
banyak teori penyebab kejahatan, belum secara maksimal dapat menjelaskan secara
jelas apa yang menjadi penyebab utama dari kejahatan. Pada akhirnya dalam
penegakannya sulit terwujud. Dibalik itu semua, mustahil pencegahan dan
penegakan hukum terhadap kejahatan dan pelanggaran dilakukan menyeluruh. Sebagai
contoh bahwa kejahatan itu timbul akibat faktor ekonomi maka kebijakan yang
perekonomian dapat meredam kejahatan, namun yang terjadi bahwa banyak orang
melakukan korupsi justeru adalah orang-orang yang perekonomiannya tinggi.
Melihat
fenomena ini maka penyebab kejahatan dan pelanggaran adalah “Iman Determinisme”
sebagai penyebab utama terjadinya kejahatan. Manakala iman menurun maka
individu, siapa pun dia memiliki potensi yang kuat untuk melakukan kejahatan,
sebaliknya semakin tinggi iman seseorang maka semakin jauh untuk melakukan
kejahatan, karena ada pertimbangan moral dan kegelisahan disetiap perbuatan
yang buruk itu dilakukan. Konsep iman terdiri dari:[10]
1) Beriman
Kepada Allah Swt Penguasa Langit dan Bumi
Umat manusia harus
menyadari bahwa mereka dahulunya tidak ada dimuka bumi ini. Siapa yang
menciptakan manusia dari ketiadaan? Jawabannya adalah Allah Yang Maha Agung,
Dialah yang telah menciptakan umat manusia. Setelah itu, manusia akan
dkembalikan ke Hadirat Allah pencipta alam semesta. Pada hari itu kiamat, yang
pada akhirnya Allah Yang Maha Hakim akan mengadili manusia berkenaan dengan
tindak tanduknya selama di dunia yang akan melahirkan punishment dan reward.
2)
Beriman Pada Hari Kiamat
Dasar
pemikirannya adalah bahwa kehidupan di dunia adalah bersifat sementara
sedangkan akhirat adalah abadi. Jalan mana yang akan dia pilih maka itulah
kesadaran bernurani, hukuman yang dijatuhkan juga merupakan pilihan yang
diyakini akan menimpanya, Dengan demikian, manusia akan tertuntut untuk
berlomba melakukan amal shalih guna mengumpulkan bekal menghadap Allah SWT Yang Maha Adil dan keras
siksa-Nya.
Secara umum dalam etika dikenal ada
dua faham yang bertolak belakang pendapatnya dalam menilai perbuatan manusia
dari segi baik dan buruknya yaitu faham yang dikenal dengan:[11]
1. Determinisme
adalah suatu paham yang secara ontologis menganggap bahwa manusia adalah suatu
makhluk yang tidak memiliki kehendak bebas. Sejak perbuatannya dilakukannya
bukan disadarinya atau tidak atas kemauannya memilih alternatif yang tersedia,
melainkan ditentukan atau dikendalikan oleh sesuatu kekuatan diluar
kekuasaannya yaitu oleh Tuhan, hukum alam dan masyarakat.
2. Indeterminisme
adalah suatu paham yang menganggap bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki
kehendak bebas mampu mengendalikan diri dan harus bertanggung jawab penuh
terhadap perbauatannya.
Determinisme akan sangat berbahaya
jika mengajarkan: tidak seorang dapat dipertanggungjawabkan, tiap-tiap orang
boleh berbuat sekehendaknya, sebaliknya indeterminisme mengajarkan bahwa
tiap-tiap orang tidak ada perkecualiannya, bertanggung jawab atas perbuatannya,
karena merupakan anggota masyarakat. yang harus mengambil tindakan terhadap
siapa sajayang melanggar peraturannya dan merugikan kepentingannya. Suara yang
terdapat dalam diri manusia yang mengatakan padanya bahwa perbuatan yang
dilakukannya adalah salah, yang mengatakan padanya, bahwa selanjutnya perbuatan
yang demikian harus dihindarkan dan sebetulnya adalah suara dari masyarakat.[12]
Tentu saja sepanjang hidupnya
seorang manusia akan mendapat pengaruh dari lingkungannya baik dari lingkungan
keluarga maupun lingkungan masyarakat. Namun ia tetap mampu mengadakan pilihan
atas beberapa alternatif yang ada. Salah satu syarat untuk mengadakan penilaian
ialah kehendak bebas, selain adanya kehendak bebas untuk memilih diantara
alternatif, maka pengetahuan atau kesadaran dapat menilai perbuatan baik dan
buruk.
D. Penyelesaian masalah kejahatan
Setelah mengetahui bahwa kejahatan
disebabkan oleh kurangnya iman kepada Tuhan Penguasa Langit dan Bumi, maka
upaya penanggulangan kejahatan dapat diaplikasikan sebagai berikut:
1.
Memperkuat iman umat manusia terhadap Allah
sebagai pencipta umat manusia.
2.
Memberlakukan hukum Allah yang maha hakim
dalam menangani segala macam tindak kejahatan. Hukum Allah yang maha adil
mempunyai universalitas dalam menangani kejahatan. Mulai dari kejahatan kecil
sampai kejahatan yang besar.
3.
Adanya itikad baik dalam memberlakukan
syariat Islam, sehingga semua lapisan masyarakat memandang aturan sebagai acuan
dalam bertindak, bukan sebaliknya sebagai pasal-pasal mati.
4.
Sinergisitas anntara ulama dan ulama dalam
hal pemberantasan kejahatan dan pelanggaran norma-norma agama.
5.
Adanya partisipasi masyarakat dalam hal
pencegahan dan penaggulangan setiap kemungkaran yang terjadi didalam masyarakat
Allah SWT telah menetapkan
hukum-hukum uqubat (pidana, sanksi dan pelanggaran) dalam peraturan islam
sebagai pencegah dan penebus dosa. Sebagai pencegah karena ia berfungsi
mencegah manusia dari tindakan-tindakan criminal. Sebagai penebus, karena ia
berfungsi menebus dosa seorang muslim dari azab Allah dihari kiamat. Keberadaan
uqubat dalam islam, yang berfungsi sebagai pencegah, telah disebutkan dalam
Alqur’an yang artinya: “dan dalam Qishas
itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal,
supaya kamu bertakwa” (Al-Baqarah 2:179).
Akhir dari setiap kejahatan adalah
penjara (lembaga pemasyarakatan), akhir-akhir ini sistem rehabilitasi juga
mengalami permasalahan, karena tujuan pemidanaan yang ingin dicapai menjadi
tidak jelas. Seperti: membludaknya jumlah narapidana, kekerasan dalam penjara,
penyakit dalam penjara, homoseksual dalam penjara, sekolah kejahatan bagi
pemula, beban negara semakin membengkak dengan bertambahnya narapidana. Maka
sudah seharusnya kita semua kembali kepada hukum Islam secara kaffah.
Daftar Pustaka
Chairil A Adjis dan Dudi Akasyah, Kriminologi Syariah, Jakarta: RMBOOKS,
2007
Edi Warman, Selayang Pandang Tentang Kriminologi, Medan: USU Press, 1994
Jawahir
Thontowi, Islam, Politik dan Hukum,
Yogyakarta: Madyan Press, 2002
Made
Darma Weda, Kriminologi, Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 1996
Mohammad
Daud Ali, Hukum Islam, Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 1998
Ridwan,
Limitasi Hukum Pidana Islam,
Semarang: Wali Songo Press, 2008
W. A. Bonger, Pengantar Tentang Kriminologi, Jakarta: PT. Pembangunan, 1995
[1] Chairil A Adjis dan Dudi
Akasyah, Kriminologi Syariah,
(Jakarta: RMBOOKS, 2007), hlm. 1
[2] Dijelaskan bahwa: ketiga korban
dibacok berulang-ulang dibagian kepala, wajah dan anggota tubuh lainnya. Dugaan
sementara motif pembunuhan adalah dendam. Lihat Harian Serambi Indonesia Tgl.
29 Oktober 2011, hlm. 1
[3] Lihat Harian Serambi Indonesia
Tgl. 23 Agustus 2011, hlm. 3
[4] Made Darma Weda, Kriminologi, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 1996) hlm. 95-96
[5] Jawahir Thontowi, Islam, Politik dan Hukum, (Yogyakarta: Madyan
Press, 2002), hlm. 26
[6] Ridwan, Limitasi Hukum Pidana Islam, (Semarang: Wali Songo Press, 2008),
hlm. 1
[7] Ibid, hlm. 76
[8] Ibid, hlm. 82
[9] Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 1998), hlm. 58
[10] Chairil A Adjis dan Dudi
Akasyah, Op. Cit, hlm. 11
[12]
W. A. Bonger, Pengantar Tentang
Kriminologi, (Jakarta: PT. Pembangunan, 1995 Cet, Ketujuh), hlm. 39
Tidak ada komentar:
Posting Komentar